JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan, eksil sekarang berjumlah 136 orang yang sedang berada di luar negeri.
Data sementara jumlah eksil itu terdiri dari korban peristiwa 1965-1966, kerusuhan 1998, dan peristiwa Simpang KKA.
Data terbaru tersebut diungkapkan Mahfud saat konferensi pers di Command Center Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (23/6/2023). Jumlah itu bertambah dari yang sebelumnya 39 eksil.
“Sekarang itu jumlahnya 136 (orang). Nanti akan kami tangani. Jadi tidak 39. Jadi 39 (orang) berdasar hasil rapat kabinet kira-kira tiga minggu lalu, lalu disuruh cari lagi oleh Bapak Presiden (Joko Widodo), ketemu,” kata Mahfud.
Baca juga: Pemerintah Akan Nyatakan Para Eksil sebagai WNI yang Tidak Khianati Negara
Para eksil itu tersebar di negara-negara seperti Belanda, Rusia, Ceko, Swedia, Slovenia, Albania, Bulgaria, Suriah, Inggris, Jerman, hingga Malaysia.
Mahfud mengatakan, dua eksil korban peristiwa 1965-1966 akan ikut dalam kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat jalur non-yudisial di Rumah Geudong, Aceh.
“Dua, dari Rusia dan Ceko akan ikut datang ke Aceh,” kata Mahfud.
Kick off rencananya digelar di Rumah Geudong Aceh, pada Selasa (27/6/2023).
Penyelesaian atau penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu jalur non-yudisial itu berupa pemulihan hak-hak korban, seperti pemberian beasiswa, jaminan kesehatan, rehabilitasi rumah, pelatihan-pelatihan keterampilan dan sebagainya.
Baca juga: Kisah Para Eksil 1965, Dibuang Negara dan Dicabut Kewarganegaraannya
Tercatat sedikitnya ada 13 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang ditangani Komnas HAM. Satu kasus di antaranya telah divonis, yakni Kasus Paniai 2014.
Sementara itu, kasus-kasus lainnya adalah peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Kemudian, peristiwa Wasior Wamena, peristiwa pembantaian dukun santet di Banyuwangi 1998, peristiwa Simpang KAA 1999, peristiwa Jambu Keupok 2003, dan peristiwa Rumah Geudong 1989-1998.
Adapun, eksil merupakan korban peristiwa 1965-1966, kerusuhan 1998, dan peristiwa Simpang KKA, yang terpaksa berada di luar negeri dan tidak bisa pulang ke Tanah Air.
Sebagai contoh untuk kasus 1965-1966, setelah berhasil merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno, Soeharto melakukan pembersihan besar-besaran. Termasuk bagi orang Indonesia di luar negeri yang dilakukan skrining. Para WNI di luar negeri diuji loyalitasnya kepada rezim Orde Baru.
Mereka yang tidak mau mengakui Soeharto sebagai pemimpin negara yang sah, dituduh sebagai kader Partai Komunis Indonesia (PKI) atau simpatisan komunis, dan dicabut kewarganegaraanya.
Banyak dari mereka yang sebelumnya merupakan mahasiswa maupun diplomat di luar negeri dicabut paspornya oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) karena tidak mau tunduk pada Soeharto.
Mereka pun lantas menjadi eksil yang terkatung-katung di negeri orang tanpa memiliki kewarnegaraan dan harus berpisah dengan sanak saudara di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.