Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Liku-liku Belanda Akui 17 Agustus 1945 Hari Kemerdekaan Indonesia

Kompas.com - 16/06/2023, 17:34 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Kerajaan Belanda menyatakan mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Hal itu disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dalam debat di Tweede Kamer atau parlemen.

Rutte secara harfiah menyatakan bahwa Belanda mengakui 17 Agustus 1945 secara penuh dan tanpa syarat.

Belanda sebelumnya hanya mengakui hari kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949 sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar dan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke RI.

Baca juga: Belanda Resmi Akui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia

Kemudian pada tahun 2005, Belanda telah menerima secara politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada tahun 1945. Akan tetapi, pengakuan itu tidak pernah diberikan secara penuh.

"Kami melihat proklamasi sebagai fakta sejarah dan apa yang Anda lihat, tentu saja dalam beberapa tahun terakhir, kami hadir di berbagai perayaan. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menjadi tamu Duta Besar Indonesia, diizinkan untuk ikut makan malam dan memberikan pidato. Dan Raja kami mengirimkan telegram ucapan selamat setiap tahun pada tanggal 17 Agustus," kata PM Rutte.

Baca juga: Belanda Akui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Jokowi: Bagus, tapi Saya Minta Masukan Dulu dari Menlu

 

Jejak pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia

Perdebatan tentang perbuatan Belanda terhadap Indonesia pada rentang 1945 sampai 1949 selalu menjadi topik yang hangat diperbincangkan di Negeri Kincir Angin.

Belanda menyebut tindakan militer saat itu sebagai aksi polisionil untuk mengamankan wilayah koloninya yakni Hindia Belanda, dari pendudukan militer Jepang. Sedangkan Indonesia melihat aksi itu sebagai agresi militer.

Bahkan di sana terdapat 2 kelompok yang mendesak pemerintah Belanda mengakui telah terjadi kekerasan terstruktur yang dilakukan militer dan juga kelompok yang menyangkalnya.

Mulanya Kerajaan Belanda tetap berkeras Republik Indonesia mendapatkan kedaulatannya pada 27 Desember 1949, atau mulai berlakunya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).

Baca juga: Setelah Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia, Apa Arti Pentingnya?

Akan tetapi pandangan itu mulai bergeser pada akhir 1960-an. Aksi kekerasan militer Belanda di Indonesia pada 1945-1949 itu diungkap oleh seorang mantan serdadu Negeri Tulip, Johan Engelbert "Joop" Hueting, pada 1968.

Joop yang diwawancarai dalam program Achter het Nieuws di stasiun televisi setempat mengungkapkan telah terjadi aksi kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia pada kurun 1945-1949.

Pengakuan Joop memicu perdebatan di kalangan rakyat hingga pemerintah Belanda.

Hal itu membuat rakyat dan pemerintah Belanda terkejut. Alhasil kelompok oposisi di parlemen mendesak pemerintahan Perdana Menteri Piet De Jong untuk menindaklanjuti kesaksian Joop.

De Jong kemudian meminta ahli sejarah Belanda, Cees Fasseur, melakukan penelitian arsip.

Baca juga: Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Prabowo: Syukur-syukur kalau Minta Maaf...

Pada Juni 1969, berdasarkan penelitian itu De Jong menerbitkan Excessonota yang isinya mengakui bahwa 'tindakan berlebihan telah terjadi', tetapi dia menyatakan 'militer telah mengambil tindakan yang benar'.

Pada awal Juli 1969, pemimpin oposisi di parlemen Belanda, Joop den Uyl, mengusulkan penyelidikan oleh parlemen di Majelis Rendah. Akan tetapi, usulan itu tidak disetujui oleh mayoritas anggota parlemen. Isu itu kemudian tenggelam.

Lantas pada 1995, Ratu Beatrix bertandang ke Indonesia untuk menghadiri peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka. Mulanya dia berencana untuk menyampaikan permohonan maaf dari Kerajaan Belanda.

Akan tetapi, saat itu kelompok veteran Belanda mendesak Perdana Menteri Wim Kok supaya Ratu Beatrix tidak menyampaikan permohonan maaf. Alhasil sang ratu tetap datang ke Indonesia sesuai agenda tetapi batal menyampaikan permohonan maaf.

Baca juga: Kemenlu Buka Suara atas Pernyataan Belanda Akui Kemerdekaan RI Tahun 1945

Isu tentang kekerasan dalam aksi polisionil yang dilakukan Belanda di Indonesia pada kembali mencuat pada 2005.

Saat itu Perdana Menteri Belanda Bernard Bot menghadiri peringatan 17 Agustus. Namun, Bernard tidak memberikan pengakuan secara politik dan hukum terhadap kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, melainkan pemerintah Belanda "menerima" secara de facto kemerdekaan Indonesia.

Bernard juga mengatakan, Belanda berada di sisi yang salah di masa Perang Dunia II di Indonesia.

Akan tetapi saat itu dia tetap berkeras Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Baca juga: Setelah 78 Tahun, Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

Isu tentang kekerasan militer Belanda dalam aksi polisionil kembali menjadi perhatian pada 2011. Penyebabnya adalah 9 ahli waris korban pembantaian di Desa Balongsari (Rawagede), Karawang, Jawa Barat, yang terjadi pada Desember 1947 mengajukan gugatan kepada pemerintahan Belanda dan menang.

Alhasil pemerintah Belanda melalui Duta Besar Tjeerd Feico de Zwaan menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada keluarga korban pembantaian Rawagede. Pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi kepada para ahli waris korban.

Dua tahun kemudian, Rutte melalui Tjeerd Feico juga menyampaikan permohonan maaf kepada 10 orang janda korban pembantaian yang dilakukan serdadu Belanda di bawah pimpinan Kapten Raymond Pierre Paul Westerling, yang terjadi di Sulawesi Selatan.

Selain itu, pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi kepada ahli waris korban.

Baca juga: Cerita Belanda Dulu Ejek Indonesia, Prabowo: Sekarang Kita Mampu Buat Pesawat Terbang!

Pada 2020, Raja Belanda Willem Alexander dalam kunjungan ke Indonesia menyampaikan penyesalan dan permohonan maaf untuk kekerasan yang berlebihan yang dilakukan mereka dalam kurun 1945-1949.

Isu itu terus bergulir di Belanda dan memaksa pemerintahan Rutte melakukan penelitian. Dia melibatkan 3 lembaga yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV), Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holokos, dan Genosida (NIOD), serta Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Penelitian itu juga melibatkan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Hasil penelitian itu disusun dengan judul "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950", dan diterbitkan 17 Februari 2022 dan menjadi acuan Rutte untuk menyampaikan permohonan maaf.

(Penulis : Fika Nurul Ulya | Editor : Diamanty Meiliana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kementan Keluarkan Rp 317 Juta untuk Keperluan Pribadi SYL, termasuk Umrah, Bayar Kiai dan “Service Mercy”

Kementan Keluarkan Rp 317 Juta untuk Keperluan Pribadi SYL, termasuk Umrah, Bayar Kiai dan “Service Mercy”

Nasional
Yusril Disebut Mundur dari PBB karena Akan Masuk Pemerintahan Prabowo, Gerindra: Belum Tahu Ditempatkan di Mana

Yusril Disebut Mundur dari PBB karena Akan Masuk Pemerintahan Prabowo, Gerindra: Belum Tahu Ditempatkan di Mana

Nasional
Cerita Pejabat Kementan Terpaksa Penuhi Permintaan SYL saat Tak Ada Anggaran

Cerita Pejabat Kementan Terpaksa Penuhi Permintaan SYL saat Tak Ada Anggaran

Nasional
Pertamina Renjana Cita Srikandi, Wujud Komitmen Majukan Perempuan Indonesia

Pertamina Renjana Cita Srikandi, Wujud Komitmen Majukan Perempuan Indonesia

Nasional
Pilkada Jakarta Punya Daya Tarik Politik Setara Pilpres, Pengamat: Itu Sebabnya Anies Tertarik

Pilkada Jakarta Punya Daya Tarik Politik Setara Pilpres, Pengamat: Itu Sebabnya Anies Tertarik

Nasional
Pejabat Kementan Sempat Tolak Permintaan Rp 450 Juta dan iPhone untuk SYL

Pejabat Kementan Sempat Tolak Permintaan Rp 450 Juta dan iPhone untuk SYL

Nasional
Hadiri WWF 2024, Puan Tegaskan Komitmen Parlemen Dunia dalam Entaskan Persoalan Air

Hadiri WWF 2024, Puan Tegaskan Komitmen Parlemen Dunia dalam Entaskan Persoalan Air

Nasional
Helikopter Presiden Iran Ebrahim Raisi Jatuh, Pemerintah RI Ucapkan Keprihatinan

Helikopter Presiden Iran Ebrahim Raisi Jatuh, Pemerintah RI Ucapkan Keprihatinan

Nasional
Mulai Safari Kebangsaan, Tiga Pimpinan MPR Temui Try Sutrisno

Mulai Safari Kebangsaan, Tiga Pimpinan MPR Temui Try Sutrisno

Nasional
Memulihkan Demokrasi yang Sakit

Memulihkan Demokrasi yang Sakit

Nasional
Jokowi Wanti-wanti Kekurangan Air Perlambat Pertumbuhan Ekonomi hingga 6 Persen

Jokowi Wanti-wanti Kekurangan Air Perlambat Pertumbuhan Ekonomi hingga 6 Persen

Nasional
Keberhasilan Pertamina Kelola Blok Migas Raksasa, Simbol Kebangkitan untuk Kedaulatan Energi Nasional

Keberhasilan Pertamina Kelola Blok Migas Raksasa, Simbol Kebangkitan untuk Kedaulatan Energi Nasional

Nasional
Momen Jokowi Sambut Para Pemimpin Delegasi di KTT World Water Forum

Momen Jokowi Sambut Para Pemimpin Delegasi di KTT World Water Forum

Nasional
Buka WWF Ke-10 di Bali, Jokowi Singgung 500 Juta Petani Kecil Rentan Kekeringan

Buka WWF Ke-10 di Bali, Jokowi Singgung 500 Juta Petani Kecil Rentan Kekeringan

Nasional
Klarifikasi Harta, KPK Panggil Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta

Klarifikasi Harta, KPK Panggil Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com