JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilihan Umum di Indonesia tetap menerapkan sistem proporsional terbuka. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Mulanya, uji materi UU Pemilu dimohonkan oleh enam warga sipil yakni Demas Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, Yuwono Pintadi yang merupakan kader Partai Nasdem, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menyoal sejumlah ketentuan, di antaranya Pasal 168 ayat (2) tentang sistem pemilu. Para pemohon meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Adapun Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.
Baca juga: 3 Alasan MK Putuskan Sistem Pemilu 2024 Tetap Proporsional Terbuka
Namun, MK menolak gugatan tersebut lantaran menilai pokok permohonan para pemohon tak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
"Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).
Meski menolak untuk mengubah sistem pemilu, menurut MK, sistem pemilu proporsional terbuka tak sempurna. Pun, sistem pemilu proporsional tertutup punya kekurangan dan kelebihan.
Melalui sistem proporsional terbuka, pemilih bisa langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh setiap partai politik (parpol) peserta pemilu. Dalam sistem ini, surat suara memuat keterangan logo partai politik, berikut nama kader parpol calon anggota legislatif.
Pemilih dapat mencoblos langsung nama caleg, atau mencoblos parpol peserta pemilu di surat suara. Nantinya, penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak.
Baca juga: Putusan MK soal Sistem Pemilu Dipuji
Menurut Mahkamah, sistem proporsional terbuka memiliki sejumlah kelebihan, antara lain, sistem ini mendorong caleg untuk bersaing dalam memperoleh suara. Sebab, caleg terpilih adalah yang punya suara terbanyak.
Mahkamah menilai, mekanisme ini mendorong terciptanya persaingan yang sehat serta meningkatkan kualitas kampanye dan program caleg.
Selain itu, Mahkamah berpandangan, sistem proporsional terbuka juga lebih mendekatkan caleg dengan pemilih, lantaran pemilih memberikan suara langsung untuk caleg, bukan partai.
“Dalam sistem ini, pemilih memiliki kebebasan langsung untuk memilih calon anggota legislatif yang mereka anggap paling mewakili kepentingan dan aspirasi mereka. Hal ini menciptakan hubungan yang lebih dekat antara pemilih dengan wakil yang terpilih,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang.
“Pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon dari partai politik tertentu tanpa terikat pada urutan daftar calon yang telah ditetapkan oleh partai tersebut,” tuturnya.
Kelebihan lain dari sistem proporsional terbuka yakni pemilih dapat berpartisipasi langsung dalam mengawasi wakilnya yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang semula mereka pilih di pemilu.
Dengan demikian, partisipasi pemilih terhadap pengawasan meningkat, pun akuntabilitas dan transparansi di legislatif.
Selain itu, menurut Mahkamah, sistem pemilu proporsional terbuka lebih demokratis lantaran representasi politik didasarkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai politik atau caleg. Mekanisme ini dinilai lebih adil bagi para calon anggota legislatif.
“Hal ini mendorong inklusivitas politik, mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat, dan mencegah dominasi pemerintahan oleh satu kelompok atau partai politik,” ujar Suhartoyo.
Baca juga: Tanggapi Putusan MK, KPU Konsisten dengan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Namun demikian, Mahkamah berpandangan, sistem proporsional terbuka juga memiliki beberapa kekurangan. Antara lain, membuka peluang terjadinya politik uang atau money politics.
Sebab, kandidat yang punya sumber daya finansial besar dapat memanfaatkannya untuk memengaruhi pemilih.
“Selanjutnya, sistem proporsional dengan daftar terbuka mengharuskan modal politik yang besar untuk proses pencalonan,” tutur Suhartoyo.
Sementara, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif, tetapi hanya partai politik peserta pemilu. Surat suara sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian caleg.
Sementara, calon anggota legislatif dipilih ditentukan oleh partai. Oleh partai, nama-nama caleg disusun berdasarkan nomor urut.
Meski tak digunakan di Indonesia, sistem pemilu proporsional tertutup dinilai punya sejumlah kelebihan. Lewat sistem ini, partai politik dinilai lebih mudah mengawasi dan mengontrol kegiatan anggotanya di legislatif.
Dengan demikian, partai dapat memastikan anggotanya bertindak sesuai dengan kehendak dan kepentingan kolektif yang mereka wakili.
“Selanjutnya, sistem ini juga memungkinkan partai politik untuk dapat mendorong kader terbaik untuk menjadi anggota legislatif,” ucap Suhartoyo.
Dalam sistem proporsional tertutup, partai politik punya kewenangan lebih besar untuk menentukan siapa yang menjadi caleg. Dengan mekanisme seleksi ketat, wakil rakyat yang terpilih kemungkinan lebih berkualitas dan kompeten.
Selain itu, sistem ini juga dinilai mampu mendorong partai untuk melakukan kaderisasi dan pendidikan politik.
“Sistem ini juga berpotensi meminimalkan praktik politik uang dan kampanye hitam. Dengan mekanisme seleksi internal yang ketat, partai politik dapat memastikan bahwa calon yang diusung tidak terlalu tergantung pada dukungan finansial eksternal dan tidak terlibat dalam kampanye negatif yang merugikan demokrasi,” tutur Suhartoyo.
Baca juga: Usai MK Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: 8 Parpol Gembira, PDI-P Masih Tak Puas
Namun demikian, sistem proporsional tertutup juga dianggap memiliki sejumlah kekurangan. Antara lain, terbatasnya ruang pemilih dalam menentukan calon wakil rakyatnya lantaran tak punya kesempatan untuk memilih langsung caleg.
Sistem ini juga dinilai berpotensi menciptakan nepotisme pada internal partai politik. Sebab, parpol akan cenderung memilih atau mendukung caleg dari keluarga atau lingkaran terdekat tanpa mempertimbangkan kualitas dan kompetensi secara objektif.
“Praktik nepotisme ini dapat merusak prinsip demokrasi dan dapat menurunkan kualitas anggota legislatif,” kata Suhartoyo.
Kekurangan lainnya, anggota legislatif tak punya kedekatan dengan rakyat lantaran rakyat tidak memilih mereka secara langsung ketika pemilu.
Selain itu, dalam sistem proporsional tertutup, calon yang diusung atau dipilih oleh partai politik berpotensi terkonsentrasi pada kelompok-kelompok kepentingan yang ada di partai tanpa memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat luas.
“Kekurangan transparansi dalam sistem rekrutmen dan kandidasi dapat membuka celah bagi praktik politik yang tidak sehat dan dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap partai politik dan proses politik secara umum,” tutur Suhartoyo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.