Bingkai cerita sukses itu dengan mimpinya untuk Indonesia, yang menguatkan personality bahwa dia mampu, punya kepemimpinan kuat, dan punya tawaran.
Ketimbang bertumpu dengan cara berpolemik terkait isu nasional untuk mengejar sentimen antirezim semata, yang sayangnya tidak didukung data valid.
Contohnya, membandingkan jalan era Jokowi dan SBY, yang kemudian dibantah banyak pihak. Polemik seperti itu juga ditemukan pada isu subsidi dan isu lainnya.
Selain tidak memperbesar ceruk pemilih, Anies berpotensi kehilangan basis pemilih karena terlalu berhati-hati dan inkonsitensi dalam gerakan, seperti diam dalam penolakan terhadap oligarki yang mungkin bersemayam dalam tubuh rezim, bahkan di tubuh partai pengusung.
Kemudian, sikap diamnya terkait keikutsertaan Israel pada Piala Dunia U20, yang banyak didukung pendukungnya.
Hal ini tentu bukan sekadar isu semata, namun sikap dan keberpihakan yang dicermati publik yang membentuk gambaran tentang kandidat capres, apakah dia pemimpin kuat atau seorang opurtunis.
Muzafer Sheriff dan Carolyn Sheriff dalam studinya, membagi penerimaan publik atas persuasi kampanye kandidat, dalam tiga bagian.
Pertama, latitude of Acceptance atau titik penerimaan komunikator (kandidat) terterima atau dapat ditoleransi kehadirannya.
Kedua, latitude of rejection.Titik ini disebut titik penolakan, di mana menguatnya resistensi atau berseberangan.
Ketiga, latitude of no commitment atau kondisi netral karena belum ada penerimaan sekaligus juga penolakan.
Pada tiga zona ini, Anies membutuhkan langkah radikal untuk memperbesar penerimaan tanpa mengurangi resistensi dari basis pemilihnya.
Kedua, kebuntuan hambatan pencapresan (barrier to entry). Setidaknya ada tiga alasan. Pertama prahara yang masih menghantui Partai Demokrat, di mana Demokrat versi Moeldoko mengajukan empat bukti baru ke Mahkamah Agung pada Mei 2023, untuk pengesahan kepengurusannya.
Kedua, prahara dugaan korupsi delapan triliun rupiah yang menimpa Johnny G. Plate selaku Menkominfo, yang merupakan Sekjen Partai Nasdem. Ditambah guncangan-guncangan personal yang dialami pimpinan Partai Nasdem.
Kebuntuan lain, yaitu rukun-rukun wajib koalisi yang terasa belum ditunaikan.
Karena sejatinya disiplin koalisi tidak dibentuk hanya sekadar membangun kesepahaman (mutual understanding) atau terdapat political chemistry semata.