Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darwin Darmawan

Pendeta GKI, Mahasiswa doktoral ilmu politik Universitas Indonesia

Politik Miskin Identitas

Kompas.com - 06/06/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sayangnya, para politisi dan timsesnya menajamkan perbedaan identitas dan memanfaatkannya untuk kepentingan elektoral jangka pendek. Mereka melakukan politisasi identitas. Politik identitas ini yang membuat demokrasi kurang bermutu.

Bryan Caplan dalam bukunya "The Myth of Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies (2008)" menjelaskan, demokrasi tidak selamanya rasional.

Terpilihnya para politisi buruk, tidak kapabel, tidak baik, membuktikan kalau pilihan politik tidak selalu logis.

Para pemilih irasional-menurut Caplan- dipengaruhi world view keliru tentang identitas dirinya dan orang lain. Misalnya, memandang negatif orang asing.

World view yang keliru itu dimanfaatkan oleh peternak politik untuk memobilisasi dukungan politik.

Tidak heran, di banyak negara demokrasi keberadaaan orang asing menjadi isu politik “sexy”. Narasi tentang ancaman asing hadir dalam isu Brexit di Inggris, imigran di Jerman, Amerika atau Perancis.

Isu tersebut bahkan jadi penentu signifikan dalam kontestasi elektoral, khususnya dalam pemilihan perdana menteri atau presiden.

Kita pernah mengalami, politisasi kebencian identitas diartikulasikan secara vulgar dalam pilgub Jakarta 2017 dan pilpres 2019.

Narasi pribumi dan nonpribumi, pro ulama dan antiulama, pro dan antiasing-aseng, mendorong masyarakat untuk menentukan pilihan secara hitam putih dan antagonistik.

Politik miskin gagasan dan identitas

Pascareformasi, ada banyak hal yang patut disyukuri. Namun demikian, ada kenyataan yang suram.

Setelah melakukan pemilu demokratis sebanyak empat kali (1999, 2004, 2009, 20014, 2019), rakyat Indonesia belum benar-benar berdaulat dari sisi ekonomi. Demokrasi belum membawa keadilan sosial bagi rakyat negeri ini.

Berkali-kali Harian Kompas memberi ruang pada opini yang menyebutkan pentingnya mewujudkan keadilan sosial sebab terjadi ketimpangan ekonomi di negeri ini.

Global Wealth Report 2018 menyebutkan, satu persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional, meningkat dari 45,4 persen pada 2017.

Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen kekayaan nasional (Suwidi Tono, Kompas, 13 Januari 2020).

Maka kita berharap, pemilu 2024 sebagai perwujudan demokratisasi politik diikuti dengan demokratisasi ekonomi (Firman Noor, Kompas, 6 April 2023).

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Nasional
PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

Nasional
Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Nasional
Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Nasional
Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Nasional
PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Nasional
Nasdem: Anies 'Top Priority' Jadi Cagub DKI

Nasdem: Anies "Top Priority" Jadi Cagub DKI

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com