Sayangnya, para politisi dan timsesnya menajamkan perbedaan identitas dan memanfaatkannya untuk kepentingan elektoral jangka pendek. Mereka melakukan politisasi identitas. Politik identitas ini yang membuat demokrasi kurang bermutu.
Bryan Caplan dalam bukunya "The Myth of Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies (2008)" menjelaskan, demokrasi tidak selamanya rasional.
Terpilihnya para politisi buruk, tidak kapabel, tidak baik, membuktikan kalau pilihan politik tidak selalu logis.
Para pemilih irasional-menurut Caplan- dipengaruhi world view keliru tentang identitas dirinya dan orang lain. Misalnya, memandang negatif orang asing.
World view yang keliru itu dimanfaatkan oleh peternak politik untuk memobilisasi dukungan politik.
Tidak heran, di banyak negara demokrasi keberadaaan orang asing menjadi isu politik “sexy”. Narasi tentang ancaman asing hadir dalam isu Brexit di Inggris, imigran di Jerman, Amerika atau Perancis.
Isu tersebut bahkan jadi penentu signifikan dalam kontestasi elektoral, khususnya dalam pemilihan perdana menteri atau presiden.
Kita pernah mengalami, politisasi kebencian identitas diartikulasikan secara vulgar dalam pilgub Jakarta 2017 dan pilpres 2019.
Narasi pribumi dan nonpribumi, pro ulama dan antiulama, pro dan antiasing-aseng, mendorong masyarakat untuk menentukan pilihan secara hitam putih dan antagonistik.
Pascareformasi, ada banyak hal yang patut disyukuri. Namun demikian, ada kenyataan yang suram.
Setelah melakukan pemilu demokratis sebanyak empat kali (1999, 2004, 2009, 20014, 2019), rakyat Indonesia belum benar-benar berdaulat dari sisi ekonomi. Demokrasi belum membawa keadilan sosial bagi rakyat negeri ini.
Berkali-kali Harian Kompas memberi ruang pada opini yang menyebutkan pentingnya mewujudkan keadilan sosial sebab terjadi ketimpangan ekonomi di negeri ini.
Global Wealth Report 2018 menyebutkan, satu persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional, meningkat dari 45,4 persen pada 2017.
Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen kekayaan nasional (Suwidi Tono, Kompas, 13 Januari 2020).
Maka kita berharap, pemilu 2024 sebagai perwujudan demokratisasi politik diikuti dengan demokratisasi ekonomi (Firman Noor, Kompas, 6 April 2023).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.