“Wujud pemaksaan dalam kejahatan pemerkosaan, tidak selalu melalui fisik, bisa juga dipaksa lewat psikis”.- Abdul Fickar Hadjar, Pakar Hukum Pidana.
TUDUHAN atau pemberian stigma buruk dalam kasus tindak asusila dan kekerasan seksual masih sering dilekatkan pada si korban sebagai triger alias pemicu terjadinya kasus, atau dipersalahkan sebagai suatu hubungan mau sama mau tanpa paksaan.
Sebagaimana kasus yang menimpa seorang remaja putri 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah. Namun tuduhan itu menuai berbagai tanggapan kritis.
Korban mengalami kejahatan tindak asusila, ketika menjadi relawan banjir bandang di Desa Torue, Kecamatan Torue, Parimo, pada 2022 lalu.
Ketika Ia bekerja di dapur kebencanaan, tak disangka salah seorang dari pelayan di sana ternyata menjalankan praktik prostitusi.
Hal ini juga yang membuat korban kemudian mengalami kejahatan seksual masif, yang tidak hanya terjadi sekali saja, namun dialami korban secara berulang selama sepuluh bulan, sejak April 2022 hingga Januari 2023, di tempat yang berbeda dan dilakukan oleh pelaku berbeda.
Persoalan menjadi sorotan tajam ketika Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Agus Nugroho menegaskan, kasus tersebut bukanlah pemerkosaan, melainkan persetubuhan di bawah umur.
Kapolda Sulteng juga menyebut, tidak ada unsur paksaan oleh para tersangka terhadap korban. Korban dibujuk para tersangka untuk melakukan persetubuhan.
Polemik memanas terutama dari kalangan ahli pidana, sebagaimana disuarakan Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.
Ia menekankan kasus tersebut tetaplah pemerkosaan. Pasalnya, wujud pemaksaan tidak selalu melalui fisik, bisa juga dipaksa lewat psikis.
Apalagi kondisi korban merupakan anak di bawah umur, dengan kondisi ekonomi yang kurang dan ia juga bertanggungjawab membiayai dua adiknya dalam kondisi keluarga yang telah bercerai.
Fickar menyentil Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho yang dianggap kurang kompeten dalam menangani kasus karena perspektifnya yang sempit.
Penegak hukum semestinya melengkapi pengetahuan dengan ilmu penunjang, seperti sosiologi dan antropologi. Apalagi pemerkosaan atau tindak asusila yang dialami korban terjadi dalam pola yang tidak seimbang.
Para tersangka yang telah ditangkap sebagai pelaku di antaranya berasal dari berbagai profesi, mulai dari guru, kepala desa, hingga oknum polisi. Mereka sejatinya memahami bahwa apa yang dilakukan adalah tindakan kejahatan.
Pernyataan Kapolda membawa konsekuensi psikologis bagi si korban, dan juga publik yang merasa terganggu, seolah-olah korban juga berperan sebagai pelaku.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.