Dalam bukunya The Electoral College: Preserve It or Abolish It?, Politisi David Barton menjelaskan mengapa sehingga sistem electoral college yang pada akhirnya dipilih Amerika Serikat.
Menurut Barton, sistem electoral college memiliki dua filosofi, yakni memelihara bentuk pemerintahan republik serta menyeimbangkan kekuasaan antarnegara bagian juga antardaerah dengan luas wilayah dan latar belakang yang berbeda.
Walau tentu saja sebagai satu sistem terdapat kekurangan, dan dalam praktiknya juga rumit, tapi faktanya sistem electoral college sudah berlaku lebih dari 200 tahun, lebih teruji.
Indonesia mungkin tidak harus mengadopsi mentah-mentah sistem electoral college punya Amerika Serikat itu, tapi setidaknya perlu dipikirkan adanya perbaikan sistem pemilu yang jauh lebih adil dan relevan.
Pembenahan dan perbaikan sistem pilpres di Indonesia harus menjadi agenda utama agar semua daerah dilihat penting dan strategis secara politik elektoral. Dengan begitu, semua daerah akan ada dalam prioritas pembangunan yang sama.
Dengan sistem yang lebih baik, pencari kuasa ‘dipaksa’ untuk adil dalam perlakuan dan persentuhan dengan tiap-tiap warga negara di masing-masing daerah pemilihan, jika tak mau ditinggalkan dalam election atau pilpres.
Tidak seperti saat ini, betapapun dikecewakan, karena negara atau pemerintah kerap tak hadir dalam berbagai persoalan sosial yang dihadapi, masyarakat dari daerah yang populasinya sedikit, sekalipun protes saat menjadi ‘hakim’ dalam pilpres, pengaruhnya tidak signifikan.
Dalam sistem popular vote, capres petahana yang tidak menunjukan komitmen pembangunan terhadap ‘less populated area’, lantas mayoritas pemilih di daerah-daerah itu tidak memilih capres tersebut, tak akan berpengaruh bila petahana mendapat insentif elektoral dari daerah berpenduduk banyak.
Meski ada syarat pelantikan presiden dan wakil presiden sebagaimana dicantumkan dalam pasal 416 UU 17/2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyebutkan bahwa pasangan calon terpilih selain harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara yang diperebutkan dalam pilpres.
Juga harus memiliki sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Namun hal itu tidak akan signifikan pengaruhnya, karena tetap saja daerah berpopulasi banyak menjadi penentu utama siapa yang akan menjadi presiden.
Saatnya pemerintah dan para politisi, khususnya di parlemen nasional Indonesia kembali memikirkan dan merumuskan solusi sistem yang lebih baik, akuntabel dan relevan dengan realitas demografi politik di Indonesia.
Antara lain dengan melakukan amandemen UU Pemilu dan menjadikan sistem pilpres tidak hanya bersandar pada popular vote dan one man one vote semata, tapi juga pada representasi kemenangan di sebagian besar daerah atau bahkan sedikit mengadopsi sistem pilpres ala Amerika.
Seperti yang juga pernah diisyaratkan oleh Bung Karno, yang menegaskan bahwa kita tidak sedang mendirikan negara demokrasi liberal, dengan one man one vote, karena kurang tepat di tengah rakyat yang belum cukup memiliki ilmu dan pendidikan.
Bila ada perbaikan sistem pilpres yang lebih baik, semua daerah akan egaliter, sejajar dalam konteks hubungan relasi-politik nasional.
Dengan begitu, para capres bersama tim pemenangannya juga akan mengatur intensitas kunjungan porsi perhatian yang sama ke semua daerah, pun setelah terpilih.
Mengupayakan perubahan sistem pilpres tentu tidak mudah, tapi penting dan strategis untuk terus diperjuangkan agar semua daerah ada dalam posisi tawar dan perlakuan politik yang setara.
Butuh kesadaran politik dan kenegarawanan level tinggi dari aktor-aktor politik sehingga kedepan ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan akibat sistem pemilihan presiden yang “diskriminatif” tak lagi terjadi, setidaknya dapat diminimalkan, dan turut menggaransi integrasi nasional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.