Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Sistem Pilpres "Diskriminatif" Melanggengkan Ketimpangan

Kompas.com - 26/05/2023, 07:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam bukunya The Electoral College: Preserve It or Abolish It?, Politisi David Barton menjelaskan mengapa sehingga sistem electoral college yang pada akhirnya dipilih Amerika Serikat.

Menurut Barton, sistem electoral college memiliki dua filosofi, yakni memelihara bentuk pemerintahan republik serta menyeimbangkan kekuasaan antarnegara bagian juga antardaerah dengan luas wilayah dan latar belakang yang berbeda.

Walau tentu saja sebagai satu sistem terdapat kekurangan, dan dalam praktiknya juga rumit, tapi faktanya sistem electoral college sudah berlaku lebih dari 200 tahun, lebih teruji.

Indonesia mungkin tidak harus mengadopsi mentah-mentah sistem electoral college punya Amerika Serikat itu, tapi setidaknya perlu dipikirkan adanya perbaikan sistem pemilu yang jauh lebih adil dan relevan.

Pembenahan dan perbaikan sistem pilpres di Indonesia harus menjadi agenda utama agar semua daerah dilihat penting dan strategis secara politik elektoral. Dengan begitu, semua daerah akan ada dalam prioritas pembangunan yang sama.

Dengan sistem yang lebih baik, pencari kuasa ‘dipaksa’ untuk adil dalam perlakuan dan persentuhan dengan tiap-tiap warga negara di masing-masing daerah pemilihan, jika tak mau ditinggalkan dalam election atau pilpres.

Tidak seperti saat ini, betapapun dikecewakan, karena negara atau pemerintah kerap tak hadir dalam berbagai persoalan sosial yang dihadapi, masyarakat dari daerah yang populasinya sedikit, sekalipun protes saat menjadi ‘hakim’ dalam pilpres, pengaruhnya tidak signifikan.

Dalam sistem popular vote, capres petahana yang tidak menunjukan komitmen pembangunan terhadap ‘less populated area’, lantas mayoritas pemilih di daerah-daerah itu tidak memilih capres tersebut, tak akan berpengaruh bila petahana mendapat insentif elektoral dari daerah berpenduduk banyak.

Meski ada syarat pelantikan presiden dan wakil presiden sebagaimana dicantumkan dalam pasal 416 UU 17/2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyebutkan bahwa pasangan calon terpilih selain harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara yang diperebutkan dalam pilpres.

Juga harus memiliki sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Namun hal itu tidak akan signifikan pengaruhnya, karena tetap saja daerah berpopulasi banyak menjadi penentu utama siapa yang akan menjadi presiden.

Saatnya pemerintah dan para politisi, khususnya di parlemen nasional Indonesia kembali memikirkan dan merumuskan solusi sistem yang lebih baik, akuntabel dan relevan dengan realitas demografi politik di Indonesia.

Antara lain dengan melakukan amandemen UU Pemilu dan menjadikan sistem pilpres tidak hanya bersandar pada popular vote dan one man one vote semata, tapi juga pada representasi kemenangan di sebagian besar daerah atau bahkan sedikit mengadopsi sistem pilpres ala Amerika.

Seperti yang juga pernah diisyaratkan oleh Bung Karno, yang menegaskan bahwa kita tidak sedang mendirikan negara demokrasi liberal, dengan one man one vote, karena kurang tepat di tengah rakyat yang belum cukup memiliki ilmu dan pendidikan.

Bila ada perbaikan sistem pilpres yang lebih baik, semua daerah akan egaliter, sejajar dalam konteks hubungan relasi-politik nasional.

Dengan begitu, para capres bersama tim pemenangannya juga akan mengatur intensitas kunjungan porsi perhatian yang sama ke semua daerah, pun setelah terpilih.

Mengupayakan perubahan sistem pilpres tentu tidak mudah, tapi penting dan strategis untuk terus diperjuangkan agar semua daerah ada dalam posisi tawar dan perlakuan politik yang setara.

Butuh kesadaran politik dan kenegarawanan level tinggi dari aktor-aktor politik sehingga kedepan ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan akibat sistem pemilihan presiden yang “diskriminatif” tak lagi terjadi, setidaknya dapat diminimalkan, dan turut menggaransi integrasi nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

Nasional
Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Nasional
Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Nasional
Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com