JELANG Pemilihan Umum 2024, turut menjadi momentum yang penting dan strategis untuk kita mendiskusikan kembali sistem pemilihan presiden (pilpres) yang telah digunakan selama ini.
Penting karena sekalipun beragam suku, tersebar di banyak pulau, ada pulau yang padat populasi, ada yang relatif sedikit penduduknya, namun yang digunakan dalam pilpres di negara ini adalah mekanisme suara terbanyak (popular vote).
Sebuah sistem yang sejauh ini berkonsekuensi atau setidaknya membuat daerah-daerah yang jumlah populasi penduduk banyak menjadi ‘seksi’ dan lebih diperhatikan, ketimbang daerah dengan demografi politik yang sedikit. Menyisakan ceruk ketidakadilan.
Terang saja, sistem popular vote membuat kampanye politik dialogis termasuk dana kampanye dan bantuan sosial jelang pilpres, lebih banyak menyasar daerah-daerah dengan populasi pemilih yang banyak, sementara yang berpenduduk sedikit, gigit jari.
Realitas ini mudah disaksikan terutama pada masa kampanye politik. Para kandidat dan tim pemenangan biasanya, atau rata-rata akan jor joran serta lebih intens berkampanye di daerah padat penduduk, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera.
Konsekuensi logisnya adalah, janji politik dan anggaran kampanye yang kerap mengiringi ‘roadshow’ para calon presiden (capres) akhirnya tak begitu diarahkan atau tak ikut menetes pada ‘less populated area’.
Demografi politik yang kurang seksi secara elektoral, kerap tidak terlalu penting di mata para capres dan tim suksesnya. Dianggap ‘kurang penting’ secara elektoral itu juga dapat dilihat dalam prioritas pembangunan nasional dari rezim ke rezim.
Bisa dilihat sendiri, daerah-daerah seperti Maluku Raya, Nusa Tenggara dan Papua Raya, rata-rata di kawasan timur Indonesia yang dihuni ras Melanesia, yang relatif sedikit jumlah penduduknya, masih terus tertinggal, belum begitu diperhatikan.
Secara politik elektoral, pemegang kekuasan tak perlu harus berbaik-baik, ‘membujuk’ atau mengambil hati dan meyakinkan masyarakat di daerah kecil populasi. Fokus di daerah dengan populasi yang besar, jauh lebih menguntungkan secara politik.
Dapat disaksikan, misalnya saja untuk urusan pembangunan infrastruktur transportasi di Pulau Jawa, yang ujung timur dan barat pulaunya telah terhubung jalan Pantura, kereta serta jalur penerbangan yang rutin dan memadai, masih perlu ditambah lagi Jalan Tol Trans-Jawa.
Sejumlah infrastruktur yang dibangun bahkan kalau dihitung selain tidak efisien, juga terkesan dipaksakan. Seperti Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, yang menelan anggaran triliunan rupiah, namun sekarang nyaris mangkrak, menjadi proyek mubazir.
Sama halnya dengan proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, yang menelan anggaran ratusan triliun rupiah, dianggap berbagai kalangan belum urgen melihat kondisi ekonomi negara, juga tumpang tindih dengan infrastruktur transportasi yang telah ada.
Begitu pula di Sumatera, seperti pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Palembang, yang merugi dan harus terus disubsidi. Juga pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera yang disimpulkan banyak pihak, sejak awal tidak layak secara finansial.
Berbagai mega proyek tersebut memang dinilai kental nuansa pencitraan politik, harapannya akan turut memengaruhi impresi dan persepsi publik terutama di kawasan yang dibangun itu, betapa gencarnya pemerintah membangun infrastruktur.
Mempertegas bahwa daerah dengan jumlah pemilih yang signifikan selalu ada dalam prioritas pembangunan dari otoritas politik dan pemangku kewajiban di tingkat nasional. Karena tentu saja lebih menguntungkan secara politik elektoral.