Berbaik-baik pada kawasan yang populasinya lebih besar dapat memberikan insentif elektoral, dan mendongkrak elektabilitas, terutama bagi petahana bila memasuki pilpres periode kedua. Menjadi semacam senjata pamungkas dalam kontestasi politik, dalam sistem popular vote.
Sekalipun demikian, sistem pilpres yang bersandar pada popular vote dinilai lebih demokratis. Tapi pada kenyataannya untuk negara kepulauan dengan beragam etnik, serta realitas kemajuan daerah yang tidak merata atau timpang, sepertinya perlu ditinjau dan dikritisi lebih lanjut.
Terkait itu, kita tentu dapat belajar dari Amerika Serikat. Karena negara yang kerap menjadi kiblat negara kita dalam berdemokrasi ini, justru tidak menggunakan sistem popular vote, tapi memakai sistem electoral college dalam pilpres mereka.
Dengan sistem pilpres ala Paman Sam itu, tak otomatis negara bagian yang populasinya banyak menjadi dominan sehingga lebih diperhatikan, semua menjadi sama.
Berbaik-baik dan menjangkau semua negara bagian adalah kunci bila mau terpilih menjadi kepala negara di Amerika Serikat.
Dengan sistem electoral college yang diperebutkan adalah jatah electoral votes yang tersebar di 51 negara bagian. Dengan sistem ini, suara yang kalah di negara bagian otomatis tidak akan dihitung, sebab berlaku sistem winner-takes-all.
Itu artinya capres harus menang di lebih banyak negara bagian, jika mau tampil sebagai pemenang pilpres. Satu sistem yang mengantisipasi peluang adanya dominasi berlebih, tentu lahir dari berbagai pertimbangan yang matang.
Memang dalam sejarahnya, sistem pilpres cara Amerika Serikat itu dipilih untuk kemudian digunakan setelah melewati debat panjang dengan memperhatikan berbagai pendapat yang berkembang dan mengemuka.
Saat itu, untuk mencari solusi, Kongres Amerika kemudian membuat Konvensi Konstitusi untuk memilih metode pilpres yang sesuai atau relevan dengan sebaran demografi politik negara itu.
Pendapat pertama, presiden akan dipilih secara langsung oleh Kongres dan Badan Legislatif setiap negara bagian. Sistem ini mungkin mirip dengan pemilu di era Orde Baru di Indonesia.
Pendapat ini kemudian ditolak karena dikhawatirkan mengundang tawaran politik ilegal yang dapat merusak keseimbangan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif di pemerintahan federal.
Pendapat lain muncul, yang mengusulkan pemilihan presiden secara langsung. Namun hanya sedikit delegasi yang setuju, karena ada keraguan terhadap kapasitas pemilih, sekaligus ketakutan bahwa tanpa informasi yang memadai terkait para kandidat dari luar negara bagian.
Pandangan yang tentu saja beralasan, karena masyarakat dari suatu negara bagian akan cenderung memilih ‘anak daerah’ yang berasal dari negara bagian mereka sendiri. Sistem yang memungkinkan menguatnya politik identitas.
Terdapat pula kekhawatiran pilpres langsung hanya akan membuat negara bagian yang besar dan berpenduduk banyak lebih mendominasi pemerintahan, kemudian mengesampingkan negara-negara bagian yang populasinya kecil.
Kekhawatiran tersebut sepertinya telah terjadi dan kini dirasakan atau melanda Indonesia. Berujung pada ketimpangan pembangunan nasional.