Salin Artikel

Sistem Pilpres "Diskriminatif" Melanggengkan Ketimpangan

Penting karena sekalipun beragam suku, tersebar di banyak pulau, ada pulau yang padat populasi, ada yang relatif sedikit penduduknya, namun yang digunakan dalam pilpres di negara ini adalah mekanisme suara terbanyak (popular vote).

Sebuah sistem yang sejauh ini berkonsekuensi atau setidaknya membuat daerah-daerah yang jumlah populasi penduduk banyak menjadi ‘seksi’ dan lebih diperhatikan, ketimbang daerah dengan demografi politik yang sedikit. Menyisakan ceruk ketidakadilan.

Terang saja, sistem popular vote membuat kampanye politik dialogis termasuk dana kampanye dan bantuan sosial jelang pilpres, lebih banyak menyasar daerah-daerah dengan populasi pemilih yang banyak, sementara yang berpenduduk sedikit, gigit jari.

Realitas ini mudah disaksikan terutama pada masa kampanye politik. Para kandidat dan tim pemenangan biasanya, atau rata-rata akan jor joran serta lebih intens berkampanye di daerah padat penduduk, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera.

Konsekuensi logisnya adalah, janji politik dan anggaran kampanye yang kerap mengiringi ‘roadshow’ para calon presiden (capres) akhirnya tak begitu diarahkan atau tak ikut menetes pada ‘less populated area’.

Demografi politik yang kurang seksi secara elektoral, kerap tidak terlalu penting di mata para capres dan tim suksesnya. Dianggap ‘kurang penting’ secara elektoral itu juga dapat dilihat dalam prioritas pembangunan nasional dari rezim ke rezim.

Bisa dilihat sendiri, daerah-daerah seperti Maluku Raya, Nusa Tenggara dan Papua Raya, rata-rata di kawasan timur Indonesia yang dihuni ras Melanesia, yang relatif sedikit jumlah penduduknya, masih terus tertinggal, belum begitu diperhatikan.

Secara politik elektoral, pemegang kekuasan tak perlu harus berbaik-baik, ‘membujuk’ atau mengambil hati dan meyakinkan masyarakat di daerah kecil populasi. Fokus di daerah dengan populasi yang besar, jauh lebih menguntungkan secara politik.

Dapat disaksikan, misalnya saja untuk urusan pembangunan infrastruktur transportasi di Pulau Jawa, yang ujung timur dan barat pulaunya telah terhubung jalan Pantura, kereta serta jalur penerbangan yang rutin dan memadai, masih perlu ditambah lagi Jalan Tol Trans-Jawa.

Sejumlah infrastruktur yang dibangun bahkan kalau dihitung selain tidak efisien, juga terkesan dipaksakan. Seperti Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, yang menelan anggaran triliunan rupiah, namun sekarang nyaris mangkrak, menjadi proyek mubazir.

Sama halnya dengan proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, yang menelan anggaran ratusan triliun rupiah, dianggap berbagai kalangan belum urgen melihat kondisi ekonomi negara, juga tumpang tindih dengan infrastruktur transportasi yang telah ada.

Begitu pula di Sumatera, seperti pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Palembang, yang merugi dan harus terus disubsidi. Juga pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera yang disimpulkan banyak pihak, sejak awal tidak layak secara finansial.

Berbagai mega proyek tersebut memang dinilai kental nuansa pencitraan politik, harapannya akan turut memengaruhi impresi dan persepsi publik terutama di kawasan yang dibangun itu, betapa gencarnya pemerintah membangun infrastruktur.

Mempertegas bahwa daerah dengan jumlah pemilih yang signifikan selalu ada dalam prioritas pembangunan dari otoritas politik dan pemangku kewajiban di tingkat nasional. Karena tentu saja lebih menguntungkan secara politik elektoral.

Berbaik-baik pada kawasan yang populasinya lebih besar dapat memberikan insentif elektoral, dan mendongkrak elektabilitas, terutama bagi petahana bila memasuki pilpres periode kedua. Menjadi semacam senjata pamungkas dalam kontestasi politik, dalam sistem popular vote.

Sekalipun demikian, sistem pilpres yang bersandar pada popular vote dinilai lebih demokratis. Tapi pada kenyataannya untuk negara kepulauan dengan beragam etnik, serta realitas kemajuan daerah yang tidak merata atau timpang, sepertinya perlu ditinjau dan dikritisi lebih lanjut.

Terkait itu, kita tentu dapat belajar dari Amerika Serikat. Karena negara yang kerap menjadi kiblat negara kita dalam berdemokrasi ini, justru tidak menggunakan sistem popular vote, tapi memakai sistem electoral college dalam pilpres mereka.

Dengan sistem pilpres ala Paman Sam itu, tak otomatis negara bagian yang populasinya banyak menjadi dominan sehingga lebih diperhatikan, semua menjadi sama.

Berbaik-baik dan menjangkau semua negara bagian adalah kunci bila mau terpilih menjadi kepala negara di Amerika Serikat.

Dengan sistem electoral college yang diperebutkan adalah jatah electoral votes yang tersebar di 51 negara bagian. Dengan sistem ini, suara yang kalah di negara bagian otomatis tidak akan dihitung, sebab berlaku sistem winner-takes-all.

Itu artinya capres harus menang di lebih banyak negara bagian, jika mau tampil sebagai pemenang pilpres. Satu sistem yang mengantisipasi peluang adanya dominasi berlebih, tentu lahir dari berbagai pertimbangan yang matang.

Memang dalam sejarahnya, sistem pilpres cara Amerika Serikat itu dipilih untuk kemudian digunakan setelah melewati debat panjang dengan memperhatikan berbagai pendapat yang berkembang dan mengemuka.

Saat itu, untuk mencari solusi, Kongres Amerika kemudian membuat Konvensi Konstitusi untuk memilih metode pilpres yang sesuai atau relevan dengan sebaran demografi politik negara itu.

Pendapat pertama, presiden akan dipilih secara langsung oleh Kongres dan Badan Legislatif setiap negara bagian. Sistem ini mungkin mirip dengan pemilu di era Orde Baru di Indonesia.

Pendapat ini kemudian ditolak karena dikhawatirkan mengundang tawaran politik ilegal yang dapat merusak keseimbangan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif di pemerintahan federal.

Pendapat lain muncul, yang mengusulkan pemilihan presiden secara langsung. Namun hanya sedikit delegasi yang setuju, karena ada keraguan terhadap kapasitas pemilih, sekaligus ketakutan bahwa tanpa informasi yang memadai terkait para kandidat dari luar negara bagian.

Pandangan yang tentu saja beralasan, karena masyarakat dari suatu negara bagian akan cenderung memilih ‘anak daerah’ yang berasal dari negara bagian mereka sendiri. Sistem yang memungkinkan menguatnya politik identitas.

Terdapat pula kekhawatiran pilpres langsung hanya akan membuat negara bagian yang besar dan berpenduduk banyak lebih mendominasi pemerintahan, kemudian mengesampingkan negara-negara bagian yang populasinya kecil.

Kekhawatiran tersebut sepertinya telah terjadi dan kini dirasakan atau melanda Indonesia. Berujung pada ketimpangan pembangunan nasional.

Dalam bukunya The Electoral College: Preserve It or Abolish It?, Politisi David Barton menjelaskan mengapa sehingga sistem electoral college yang pada akhirnya dipilih Amerika Serikat.

Menurut Barton, sistem electoral college memiliki dua filosofi, yakni memelihara bentuk pemerintahan republik serta menyeimbangkan kekuasaan antarnegara bagian juga antardaerah dengan luas wilayah dan latar belakang yang berbeda.

Walau tentu saja sebagai satu sistem terdapat kekurangan, dan dalam praktiknya juga rumit, tapi faktanya sistem electoral college sudah berlaku lebih dari 200 tahun, lebih teruji.

Indonesia mungkin tidak harus mengadopsi mentah-mentah sistem electoral college punya Amerika Serikat itu, tapi setidaknya perlu dipikirkan adanya perbaikan sistem pemilu yang jauh lebih adil dan relevan.

Pembenahan dan perbaikan sistem pilpres di Indonesia harus menjadi agenda utama agar semua daerah dilihat penting dan strategis secara politik elektoral. Dengan begitu, semua daerah akan ada dalam prioritas pembangunan yang sama.

Dengan sistem yang lebih baik, pencari kuasa ‘dipaksa’ untuk adil dalam perlakuan dan persentuhan dengan tiap-tiap warga negara di masing-masing daerah pemilihan, jika tak mau ditinggalkan dalam election atau pilpres.

Tidak seperti saat ini, betapapun dikecewakan, karena negara atau pemerintah kerap tak hadir dalam berbagai persoalan sosial yang dihadapi, masyarakat dari daerah yang populasinya sedikit, sekalipun protes saat menjadi ‘hakim’ dalam pilpres, pengaruhnya tidak signifikan.

Dalam sistem popular vote, capres petahana yang tidak menunjukan komitmen pembangunan terhadap ‘less populated area’, lantas mayoritas pemilih di daerah-daerah itu tidak memilih capres tersebut, tak akan berpengaruh bila petahana mendapat insentif elektoral dari daerah berpenduduk banyak.

Meski ada syarat pelantikan presiden dan wakil presiden sebagaimana dicantumkan dalam pasal 416 UU 17/2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyebutkan bahwa pasangan calon terpilih selain harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara yang diperebutkan dalam pilpres.

Juga harus memiliki sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Namun hal itu tidak akan signifikan pengaruhnya, karena tetap saja daerah berpopulasi banyak menjadi penentu utama siapa yang akan menjadi presiden.

Saatnya pemerintah dan para politisi, khususnya di parlemen nasional Indonesia kembali memikirkan dan merumuskan solusi sistem yang lebih baik, akuntabel dan relevan dengan realitas demografi politik di Indonesia.

Antara lain dengan melakukan amandemen UU Pemilu dan menjadikan sistem pilpres tidak hanya bersandar pada popular vote dan one man one vote semata, tapi juga pada representasi kemenangan di sebagian besar daerah atau bahkan sedikit mengadopsi sistem pilpres ala Amerika.

Seperti yang juga pernah diisyaratkan oleh Bung Karno, yang menegaskan bahwa kita tidak sedang mendirikan negara demokrasi liberal, dengan one man one vote, karena kurang tepat di tengah rakyat yang belum cukup memiliki ilmu dan pendidikan.

Bila ada perbaikan sistem pilpres yang lebih baik, semua daerah akan egaliter, sejajar dalam konteks hubungan relasi-politik nasional.

Dengan begitu, para capres bersama tim pemenangannya juga akan mengatur intensitas kunjungan porsi perhatian yang sama ke semua daerah, pun setelah terpilih.

Mengupayakan perubahan sistem pilpres tentu tidak mudah, tapi penting dan strategis untuk terus diperjuangkan agar semua daerah ada dalam posisi tawar dan perlakuan politik yang setara.

Butuh kesadaran politik dan kenegarawanan level tinggi dari aktor-aktor politik sehingga kedepan ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan akibat sistem pemilihan presiden yang “diskriminatif” tak lagi terjadi, setidaknya dapat diminimalkan, dan turut menggaransi integrasi nasional.

https://nasional.kompas.com/read/2023/05/26/07190631/sistem-pilpres-diskriminatif-melanggengkan-ketimpangan

Terkini Lainnya

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Nasional
Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke