Kendati presiden percaya, sebagian tokoh menyebut Ita bohong, sebagian yang lain memaki-maki sampai naik pitam.
Saat bertemu presiden Habibie misalnya, ia dipanggil keluar ruangan oleh Penasehat Militer Presiden BJ Habibie saat itu, Letnan Jenderal Sintong Panjaitan.
Begitu keluar, sudah ada dua jenderal lainnya yang menunggu Ita, yaitu Panglima Angkata Bersenjata Republik Indonesia Wiranto, dan Kepala Kepolisian RI.
Baru saja menghampiri, Sintong seketika menutup pintu ruangan. Lalu, melancarkan makiannya sembari menunjuk wajah Ita. Begitu pula dengan Wiranto yang persis berada di depannya.
Baca juga: Cerita Kelam Tragedi 1998: Dering Telepon Tak Henti Berbunyi Terima Laporan Rudapaksa Massal
Ita dituding telah mempermalukan nama bangsa Indonesia, karena telah menceritakan kasus 1998 kepada beberapa media asing yang mewawancarai dia.
Saat diwawancara, Ita memang tidak spesifik menyebut nama pelaku. Namun, dia menceritakan ciri-ciri berdasarkan kesaksian para korban yang nyaris sama: bertubuh tegap dan berambut cepak.
"Pak Wiranto (langsung berbicara) 'Kamu sudah menjelekkan nama bangsa Indonesia di dunia'. Jadi saya dituding sama Pak Wiranto, kemudian Pak Sintong, Pak Kapolri. 'Kamu harus bertanggung jawab, kamu pembohong'," tutur Ita.
Ita tidak banyak berbicara saat itu. Dia hanya diam mendengarkan makian yang dilayangkan. Namun saat mereka selesai memaki, Ita membalas.
"Saya balik (mengatakan), saya tidak bohong. Saya melaporkan apa adanya, saya berani mempertanggungjawabkan. Begitu selesai, saya langsung balik dan buka pintunya Pak Habibie, ke ruangan Pak Habibie saya masuk," ungkap Ita.
Baca juga: Soeharto di Mesir Saat Kerusuhan Mei 1998 Meletus, Sepertiga Kekuatan Militer Duduki Ibu Kota
Saat ia hendak pulang, ketiga jenderal turut masuk ke dalam ruang kerja Habibie. Namun ketika itu, para jenderal tidak mau bersalaman dengan Ita. Ita pun mengaku tidak mau bersalaman dengan mereka.
Dia bergeming, merasakan ada ketegangan di sana sini. Ketegangan yang tidak cukup selesai dalam waktu satu sampai dua hari. Ketegangan yang menandakan kejadian pemerkosaan terjadi secara sistematis.
"Itu yang terjadi, makanya itu memang sistematis dan terencana," kata Ita.
Di kesempatan lain, ketegangan juga terjadi ketika utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dr. Radhika Coomaraswamy, datang ke Indonesia untuk membuat laporan khusus soal kasus Mei 1998.
Tim Ita yang mengadvokasi hak-hak perempuan korban kekerasan seksual lantas mempertemukan Radhika dengan beberapa korban, termasuk korban kekerasan seksual pada peristiwa di Aceh, Papua, dan Timor Leste ketika masih diduduki Indonesia.
Pertemuan ini tanpa sepengetahuan siapa pun, kecuali para relawan yang memang terlibat. Setelah berhasil mewawancarai korban, Radhika memintanya datang ke Sidang HAM PBB tahun 1999 di Jenewa, Swiss, untuk menjadi saksi.