Salin Artikel

Saat Ita Nadia Bersuara soal Pemerkosaan 1998: Habibie Percaya, Wiranto Naik Pitam

Kepercayaan Habibie begitu terlihat ketika Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP) yang dikoordinatori oleh Ita Fatia Nadia, mendatanginya untuk menceritakan insiden yang terjadi.

Kala itu, kasus tersebut dianggap tidak pernah ada, selalu diingkari oleh banyak pihak. Pengusutan kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 pun seolah tenggelam hingga saat ini.

Padahal reformasi yang telah dirasakan hingga 25 tahun belakangan, memiliki begitu banyak cerita kelam memakan korban jiwa. Korban pemerkosaan, korban pembunuhan, korban pembakaran, hingga penghilangan paksa.

"Sampai sekarang itu selalu diingkari, setiap tahun kan selalu diingkari. Tidak ada perkosaan, Mbak Ita itu bohong, begini, segini. Saya mengatakan bahwa reformasi itu punya korban yang begitu besar yang diingkari," kata Ita Fatia Nadia kepada Kompas.com melalui wawancara daring, Rabu (17/5/2023), malam

Kepada Kompas.com Ita bercerita, laporan adanya pemerkosaan massal pada tahun mencekam itu dilaporkan Saparinah Sadli, tokoh perempuan pendiri Masyarakat Anti Kekerasan Indonesia, kepada Presiden BJ Habibie melalui surat.

Sebelum itu, Saparinah bersama timnya telah lebih dulu menjalani diskusi dengan TRKP di Salemba, membahas kekerasan terhadap perempuan. Surat tersebut lantas mendapat jawaban dari Habibie, agar para tokoh perempuan datang menemuinya.

Habibie kala itu menerima 11 orang perempuan yang datang di ruang kerjanya di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Kesebelas orang tersebut termasuk Saparinah Sadli, Smita Notosusanto, dan Ita.

Ita sebagai ketua TRKP, lalu diminta Saparinah untuk menerangkan isi laporan soal kasus kekerasan seksual yang dibawanya. Laporan tersebut disusun secara matang oleh tim, mencatat semua korban yang terlibat.

Perlahan, Ita menggerakkan tangannya, bermaksud membuka laporan yang telah disiapkan. Habibie yang kala itu duduk persis di depannya langsung percaya sebelum diterangkan.

"Saya baru mau buka laporan, kami juga sudah membuat statement untuk diserahkan. Pak Habibie mengatakan, 'Saya percaya. Tidak usah diterangkan. Karena itu saya percaya'," kata Ita memperagakan ucapan Habibie.

"Dan Presiden Habibie bilang, 'karena (sahabatnya) keponakan saya juga korban perkosaan. Saya percaya'," imbuh Ita.

Setelah percaya, Habibie bertanya kepada para tokoh perempuan mengenai apa yang perlu diminta kepada dia, usai kasus terjadi. Menjawab pertanyaan Habibie, Saparinah meminta agar negara membentuk komisi nasional yang melindungi perempuan dari segala tindak kekerasan.

Tanpa berlama-lama, Habibie menyetujuinya. Lalu, Kamala Chandra Kirana dan Smita Notosusanto membuat konsep.

"Kemudian, langsung ditandatangani oleh Presiden Habibie dan kemudian disahkan menjadi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Saya juga menjadi komisioner pertama," cerita Ita.

Dimaki-maki

Kendati presiden percaya, sebagian tokoh menyebut Ita bohong, sebagian yang lain memaki-maki sampai naik pitam.

Saat bertemu presiden Habibie misalnya, ia dipanggil keluar ruangan oleh Penasehat Militer Presiden BJ Habibie saat itu, Letnan Jenderal Sintong Panjaitan.

Begitu keluar, sudah ada dua jenderal lainnya yang menunggu Ita, yaitu Panglima Angkata Bersenjata Republik Indonesia Wiranto, dan Kepala Kepolisian RI.

Baru saja menghampiri, Sintong seketika menutup pintu ruangan. Lalu, melancarkan makiannya sembari menunjuk wajah Ita. Begitu pula dengan Wiranto yang persis berada di depannya.

Ita dituding telah mempermalukan nama bangsa Indonesia, karena telah menceritakan kasus 1998 kepada beberapa media asing yang mewawancarai dia.

Saat diwawancara, Ita memang tidak spesifik menyebut nama pelaku. Namun, dia menceritakan ciri-ciri berdasarkan kesaksian para korban yang nyaris sama: bertubuh tegap dan berambut cepak.

"Pak Wiranto (langsung berbicara) 'Kamu sudah menjelekkan nama bangsa Indonesia di dunia'. Jadi saya dituding sama Pak Wiranto, kemudian Pak Sintong, Pak Kapolri. 'Kamu harus bertanggung jawab, kamu pembohong'," tutur Ita.

Ita tidak banyak berbicara saat itu. Dia hanya diam mendengarkan makian yang dilayangkan. Namun saat mereka selesai memaki, Ita membalas.

"Saya balik (mengatakan), saya tidak bohong. Saya melaporkan apa adanya, saya berani mempertanggungjawabkan. Begitu selesai, saya langsung balik dan buka pintunya Pak Habibie, ke ruangan Pak Habibie saya masuk," ungkap Ita.

Saat ia hendak pulang, ketiga jenderal turut masuk ke dalam ruang kerja Habibie. Namun ketika itu, para jenderal tidak mau bersalaman dengan Ita. Ita pun mengaku tidak mau bersalaman dengan mereka.

Dia bergeming, merasakan ada ketegangan di sana sini. Ketegangan yang tidak cukup selesai dalam waktu satu sampai dua hari. Ketegangan yang menandakan kejadian pemerkosaan terjadi secara sistematis.

"Itu yang terjadi, makanya itu memang sistematis dan terencana," kata Ita.

Di kesempatan lain, ketegangan juga terjadi ketika utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dr. Radhika Coomaraswamy, datang ke Indonesia untuk membuat laporan khusus soal kasus Mei 1998.

Tim Ita yang mengadvokasi hak-hak perempuan korban kekerasan seksual lantas mempertemukan Radhika dengan beberapa korban, termasuk korban kekerasan seksual pada peristiwa di Aceh, Papua, dan Timor Leste ketika masih diduduki Indonesia.

Pertemuan ini tanpa sepengetahuan siapa pun, kecuali para relawan yang memang terlibat. Setelah berhasil mewawancarai korban, Radhika memintanya datang ke Sidang HAM PBB tahun 1999 di Jenewa, Swiss, untuk menjadi saksi.

Sayangnya, kasus pemerkosaan itu tidak diakui oleh pemerintah. Di sisi lain, Radhika bersikukuh menyatakan ada pemerkosaan.

"Pemerintah Indonesia yang ketika itu Menlu (Menteri Luar Negeri) adalah Pak Hassan Wirajuda, menolak. (Dia mengatakan), 'Tidak, kami tidak, tidak ada itu perkosaan. Tidak ada perkosaan. Itu semua adalah bohong'," kenang Ita.

Polemik di TGPF

Polemik juga terjadi di Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Komnas HAM. Beberapa anggota TGPF memintanya membuka data korban, termasuk namanya, untuk proses verifikasi.

Namun, Ita menolak karena masih banyak korban yang trauma dan tidak mau bersaksi. Ia khawatir, membuka nama korban justru akan menambah daftar panjang orang terbunuh, sama kasusnya seperti Ita Martadinata.

Akhirnya, Saparinah menyatakan, korban rudapaksa tidak harus bersaksi. Sebagai gantinya, pendamping yang merupakan saksi korban bisa bersaksi.

Namun sebulan kemudian, Ita keluar tadi TGPF karena mendapatkan tekanan yang begitu besar dari para militer yang menjadi anggota TGPF agar mau menunjukkan korban.

"(Mereka menyatakan), kalau tidak ada korban, tidak ada perkosaan. Itu Pak Da'i Bachtiar, ngotot bener. Saya bilang, Tidak. (Tapi dijawab), 'kalau begitu kamu bohong'. Saya bilang, saya lebih baik dikatakan bohong karena saya melindungi korban," jelasnya.

Tidak heran, terjadi perbedaan data korban. Menurut data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk kala itu, korban pemerkosaan mencapai 66 orang.

Namun, data Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat korban pemerkosaan mencapai 165 orang. Belum lagi dihitung dari para korban yang akhirnya meninggalkan Indonesia dan menetap di luar negeri.

Hingga saat ini, kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 tetap menjadi misteri. Pelaku atau dalang di balik peristiwa tersebut belum terungkap hingga 25 tahun kemudian.

https://nasional.kompas.com/read/2023/05/22/10553631/saat-ita-nadia-bersuara-soal-pemerkosaan-1998-habibie-percaya-wiranto-naik

Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke