Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Ita Nadia Bersuara soal Pemerkosaan 1998: Habibie Percaya, Wiranto Naik Pitam

Kompas.com - 22/05/2023, 10:55 WIB
Fika Nurul Ulya,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia, menjadi satu dari segelintir orang yang menaruh percaya adanya insiden pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa medio Mei 1998.

Kepercayaan Habibie begitu terlihat ketika Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP) yang dikoordinatori oleh Ita Fatia Nadia, mendatanginya untuk menceritakan insiden yang terjadi.

Kala itu, kasus tersebut dianggap tidak pernah ada, selalu diingkari oleh banyak pihak. Pengusutan kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 pun seolah tenggelam hingga saat ini.

Padahal reformasi yang telah dirasakan hingga 25 tahun belakangan, memiliki begitu banyak cerita kelam memakan korban jiwa. Korban pemerkosaan, korban pembunuhan, korban pembakaran, hingga penghilangan paksa.

Baca juga: Pembunuhan Ita Martadinata, Pukulan Telak yang Bungkam Korban Pemerkosaan Mei 1998

"Sampai sekarang itu selalu diingkari, setiap tahun kan selalu diingkari. Tidak ada perkosaan, Mbak Ita itu bohong, begini, segini. Saya mengatakan bahwa reformasi itu punya korban yang begitu besar yang diingkari," kata Ita Fatia Nadia kepada Kompas.com melalui wawancara daring, Rabu (17/5/2023), malam

Kepada Kompas.com Ita bercerita, laporan adanya pemerkosaan massal pada tahun mencekam itu dilaporkan Saparinah Sadli, tokoh perempuan pendiri Masyarakat Anti Kekerasan Indonesia, kepada Presiden BJ Habibie melalui surat.

Sebelum itu, Saparinah bersama timnya telah lebih dulu menjalani diskusi dengan TRKP di Salemba, membahas kekerasan terhadap perempuan. Surat tersebut lantas mendapat jawaban dari Habibie, agar para tokoh perempuan datang menemuinya.

Habibie kala itu menerima 11 orang perempuan yang datang di ruang kerjanya di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Kesebelas orang tersebut termasuk Saparinah Sadli, Smita Notosusanto, dan Ita.

Baca juga: Cerita Keluarga Saat Mozes Jadi Korban Kerusuhan 1998, Ada Upaya Menghilangkan Jenazah, Suasana Rumah Mencekam

Ita sebagai ketua TRKP, lalu diminta Saparinah untuk menerangkan isi laporan soal kasus kekerasan seksual yang dibawanya. Laporan tersebut disusun secara matang oleh tim, mencatat semua korban yang terlibat.

Perlahan, Ita menggerakkan tangannya, bermaksud membuka laporan yang telah disiapkan. Habibie yang kala itu duduk persis di depannya langsung percaya sebelum diterangkan.

"Saya baru mau buka laporan, kami juga sudah membuat statement untuk diserahkan. Pak Habibie mengatakan, 'Saya percaya. Tidak usah diterangkan. Karena itu saya percaya'," kata Ita memperagakan ucapan Habibie.

"Dan Presiden Habibie bilang, 'karena (sahabatnya) keponakan saya juga korban perkosaan. Saya percaya'," imbuh Ita.

Setelah percaya, Habibie bertanya kepada para tokoh perempuan mengenai apa yang perlu diminta kepada dia, usai kasus terjadi. Menjawab pertanyaan Habibie, Saparinah meminta agar negara membentuk komisi nasional yang melindungi perempuan dari segala tindak kekerasan.

Baca juga: Kekecewaan Keluarga Korban Kerusuhan Mei 1998: Dilempar Sana-sini seperti Bola Pingpong...

Tanpa berlama-lama, Habibie menyetujuinya. Lalu, Kamala Chandra Kirana dan Smita Notosusanto membuat konsep.

"Kemudian, langsung ditandatangani oleh Presiden Habibie dan kemudian disahkan menjadi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Saya juga menjadi komisioner pertama," cerita Ita.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com