"Buruh, tani, mahasiwa, rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Bersatu tekad dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia
Hari-hari esok adalah milik kita
Terciptanya masyarakat sejahtera
Terbentuknya tatanan masyarakat
Indonesia baru tanpa orba"
LAGU "Buruh Tani" ciptaaan Safi’i Kemamang di atas sering dinyanyikan dalam pergerakan reformasi 1998. Dari lirik lagu tersebut menyiratkan bahwa gerakan reformasi tidak lepas dari kekuatan pekerja atau disebut buruh.
Sama seperti mahasiswa, massa buruh termasuk mudah diorganisir dan terkonsentrasi pada satu titik. Namun kelemahannya, pada masa Orde Baru, gerakan buruh dicap gerakan berbau komunis.
Orde Baru yang militeristik sebagai kaki-tangan kapitalime yang antikomunis, gerakan mahasiswa tidak bisa dicap sebagai gerakan berbau komunis atau kelompok marxis radikal.
Maka pada saat itu, mahasiswa satu-satunya menjadi garda terdepan oleh kaum reformis untuk mengakhiri rezim Orde Baru yang membangun sistem penuh kejanggalan.
Meskipun tidak ada kesepakatan tertulis, gerakan nahasiswa diakui sebagai gerakan intelektual dan agen perubahan. Sedangkan buruh, tani, dan masyarakat miskin kota mudah dikambinghitamkan sebagai gerakan yang ditunggangi oleh komunis atau digerakkan oleh barisan sakit hati.
Orba memetakan, gerakan buruh merupakan ancaman stabilitas politik nasional dan menganggu pembangunan ekonomi Indonesia yang dilaksanakan oleh pemerintahan Soeharto.
Para kaum kapitalis sangat ketakutan dengan gerakan komunis dan sosialis yang begejolak hampir di seluruh dunia.
Apalagi, sejak terbentuknya negara komunis Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok yang menghapus hak pribadi serta menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik para kapitalis.
Peristiwa G/30/S/PKI pada1965 menjadi modal bagi Soeharto membenarkan bahwa gerakan komunis dilakukan oleh buruh dan petani adalah gerakan yang keji dan sadis.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding sebagai otak pembunuhan 7 Dewan Jenderal, sehingga terjadi pembantaian jutaan rakyat kecil, terutama pada petani dan buruh.
Atas kekacauan berdarah ini menjadi modal buat Soeharto menghantarkan dia sebagai presiden mengantikan Soekarno yang ditumbangkan oleh Angkatan 66. Gerakan Buruh kemudian dianggap sebagai bahaya laten. Sejak itu, perjuangan buruh mengalami degradasi.
Selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa membungkam gerakan buruh, Soeharto tidak memisahkan antara perjuangan buruh dengan gerakan politik kelompok komunis atau sosialis marxis.
Soeharto menggeneralisasi semua gerakan buruh adalah kelompok radikal marxis untuk membentuk negara komunis.
Sementara, perjuangan masyarakat pekerja dengan perjuangan komunis dua hal yang berbeda. Perjuangan pekerja atau buruh adalah perjuangan atas hak-hak kerjanya. Seperti jam kerja, gaji yang memberikan kesejahteraan, kondisi kerja yang aman dan jaminan sosial, serta hak-hak lainnya.
Perjuangan buruh dapat dilihat di Amerika Serikat dan berbagai negara di Eropa Barat pada abad ke-19 dan ke-20. Masyarakat Eropa dan Amerika Serikat mendapat pencerahan tentang keadilan, kebebasan, kesetaraan dan kemajuan, sehingga memunculkan perjuangan buruh.
Terinspirasi dari keberhasilan Revolusi Perancis (1789), para buruh bangkit bergerak menyapu seluruh Eropa.
Di Inggris pada 1819, para buruh menuntut reformasi wakil parlemen yang dinilai konservatif. Buruh mengalami ketidakadilan dan hidup miskin. Mereka menyuarakan "Equal Law, Equal Right, Annual Parliament, Universal Sufrage, and the Ballot".
Puncaknya di Amerika Serikat pada 1 Mei 1886, terjadi pergerakan buruh besar-besaran menuntut pemenuhan hak-hak buruh, termasuk pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari.
Buruh bersama istri dan anaknya mengusung spanduk berbunyi "Delapan Jam Kerja Sehari". Peristiwa Haymarket ini kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai May Day, yaitu Hari Buruh Internasional.
Meskipun gerakan buruh pada masa lalu sering memiliki keterkaitan dengan ideologi komunis, tapi memiliki tujuan berbeda. Terbukti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat dan negara-negara modern lainnya di Asia tidak membentuk negara komunis, malah menjadi negara demokrasi yang liberal berbasiskan pasar bebas.
Dari perjuangan buruh yang panjang dan memakan nyawa dan mengalami penderitaan mendalam, akhirnya berhasil mendapat keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan secara merata.
Antara pengusaha dengan pekerja semakin tercipta keharmonisan dan menjunjung kesetaraan, berorientasi kesejahteraan, pertumbuhan dan membangun keselamatan kerja yang baik, serta membentuk jaminan sosial yang komprehensif.
Pemerintah pun hadir memberikan kepastian pelindungan hukum, sosial, dan ekonomi yang kuat dan mengedepankan dialog sosial tripartit.
Pembusukan dan pemutarbalikan esensi perjuangan buruh ini sampai sekarang masih berdampak buruk pada nasib mereka.