JAKARTA, KOMPAS.com - Menjelang petang, suasana rumah Presiden kedua RI, Soeharto, di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat pada 20 Mei 1998, riuh sedang.
Wakil Presiden ke-4 RI Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno, dan Wakil Presiden pada saat itu, Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie terlibat pembicaraan di dalam sebuah rapat bersama Soeharto.
Mereka berdiskusi mengenai rencana yang akan dilaksanakan pada keesokan harinya, 21 Mei 1998 atau bertepatan dengan runtuhnya Orde Baru.
Yusril Ihza Mahendra yang pada saat itu menjabat sebagai staf Sekretariat Negara sekaligus penusil pidato Soeharto, juga berada di dalam rumah tersebut.
Baca juga: Jakarta Membara dalam Kerusuhan 25 Tahun Lalu: Massa Mengamuk, Mobil Dibakar, dan Bangunan Dijarah
Tak berselang lama, Yusril memilih meninggalkan rumah cendana untuk pergi ke Jalan Pekalongan, Menteng, Jakarta Pusat. Tempat yang dituju adalah kediaman Malik Fadjar, Menteri Agama periode 1998-1999.
Di tempat tersebut, Yusril bertemu dengan Menteri Negara Perumahan rakyat dan Permukiman, Akbar Tanjung. Kepada Yusril, politikus senior Partai Golkar itu mengungkapkan bahwa para menteri Kabinet Pembangunan VII, kabinet terakhir Orba, akan mengundurkan diri.
“Ternyata benar, dibuka bajunya Akbar Tanjung, ada surat yang isinya rapat dipimpin Pak Ginandjar (Kartasasmita), dan benar ada menteri yang mundur,” ujar Yusril dalam wawancaranya bersama Kompas.com, Senin (15/5/2023).
Ginandjar Kartasasmita merupakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.
Baca juga: 25 Tahun yang Lalu, 6 Mahasiswa Trisakti Tewas Ditembak
Ia pun bergegas kembali ke Jalan Cendana untuk menghadap Soeharto.
Informasi yang ia terima dari Akbar Tandjung langsung disampaikan kepada orang nomor satu di negeri itu.
Soeharto terdiam. Pria paruh baya yang pada saat itu berusia 76 tahun tersebut merenung.
“(Pukul) 09.30 WIB saya menghadap Soeharto, saya ngobrol panjang dengan Pak Harto dan ia merenung, jika menteri mundur maka beliau juga,” ujar Yusril.
Yusril menyebutkan, Soeharto sebenarnya sudah memiliki keinginan untuk mundur sebelumnya. Itu terjadi pada akhir 1997.
Suatu hari, Panglima Angkatan Bersenjata RI saat itu, Jenderal TNI Feisal Tanjung, menghadap Soeharto dengan didampingi Yusril.
“Akhirnya beliau (Soeharto) mengatakan ‘lebih baik saya cukup sampai di sini’. Saya katakan, ‘ya Pak, ini waktu yang paling tepat buat Bapak’,” kata Yusril.