Praktik semacam ini tentu bertentangan dengan moral dan etika politik. Serta berseberangan prinsip demokrasi yang mengutamakan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia dan asas hukum equality before the low.
Melihat gejala fenomena korupsi politik dan politisasi korupsi yang biasanya terjadi jelang pelaksanaan pemilu legislatif maupun eksekutif, publik tentu mesti waspada dan kritis.
Praktik korupsi politik yang dilakukan pejabat politik termasuk struktur birokrasi, perlu diantisipasi bersama. Melaporkan indikasi atau temuan kepada aparat penegak hukum atau penyelenggara pemilu bisa jadi alternatif pilihan.
Publik juga mesti mencermati pejabat politik yang memiliki kewenangan atau akses ke pemerintahan dan terbukti memakai mesin birokrasi untuk melanggengkan kekuasaannya.
Mereka yang menggunakan mesin birokrasi untuk bekerja bagi kepentingan politik kekuasaan adalah cermin dari pejabat yang tega menghianati publik.
Mereka yang tak becus menggunakan kekuasan saat kekuasaan itu dipercayakan kepada mereka, tentu tak pantas dipilih menjadi pemimpin.
Begitu pula terkait bantuan sosial yang diberikan, publik mesti cermat dan menanyakan asal-usul dari setiap bantuan yang diberikan. Juga mewajibkan setiap pejabat pemberi bantuan untuk mengumumkan dan menjelaskan kepada publik asal-usul dana bantuannya.
Jika ternyata kemudian diketahui ada praktik klaim bantuan pribadi demi pencitraan, maka mereka yang mengklaim dana publik menjadi bantuan pribadi mesti diwaspadai. Mereka adalah contoh kandidat pemimpin yang tak bernurani.
Mereka adalah politisi busuk yang pantas dihukum dengan tidak memilih mereka dalam setiap election.
Selain itu politisasi korupsi juga harus disikapi dengan hati-hati. Publik harus bisa mencermati setiap perkembangan terkait dengan isu korupsi, sehingga dapat membedakan antara propaganda atau kampanye negatif dan kampanye hitam.
Propaganda lewat negative campaign tentu dapat menjadi masukan dan pertimbangan publik dalam memilih kandidat. Sedangkan setiap isu korupsi yang dihembuskan tanpa berdasarkan bukti dan fakta hukum yang memadai, termasuk black campaign mestinya juga diwaspadai.
Mereka yang tega membohongi publik dengan membunuh karakter orang lain (character assasination) adalah cermin dari hasrat politik yang tak bermartabat. Mereka yang suka menghalalkan segala cara untuk meloloskan ambisi politik-nya, adalah gerombolan politisi busuk yang juga patut dihindari.
Kewaspadaan publik pemilih dalam mencermati fenomena korupsi politik dan politisasi korupsi jelang pemilu nanti sangat diperlukan. Sehingga kekuasaan yang sejatinya adalah milik publik dapat direkomendasikan kepada mereka atau entitas politik yang lebih kredibel dan bertanggung jawab.
Artinya, kekuasaan itu milik publik. Maka publik-lah yang berhak memberi dan menarik kembali kekuasaan dari siapa pun tergantung pada bagaimana kekuasaan digunakan dan diarahkan.
Kalau kekuasaan digunakan dan diarahkan semata-mata untuk kepentingan publik, itulah substansi demokrasi.
Namun jika kekuasaan dipakai untuk menimbun kekayaan dan membohongi banyak orang, barangkali kekuasaan itu perlu ditarik dan diberikan kepada yang lebih pantas.
Dalam pemilu nanti publik memiliki kewenangan penuh untuk itu, dengan demikian suara rakyat adalah suara Tuhan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.