Melihat pendarahan tersebut, Ita sempat berbincang dengan dokter. Dokter menyebutkan bahwa kondisi Fransisca sangat sulit.
Tak tega melihat anak kecil itu kesakitan, Ita pun memangku kepala Fransisca yang sedang berjuang seorang diri. Dia bisikkan dengan lembut ke telinganya.
"Tidak apa kalau pergi. Di sana sudah ada ibu dan kakak kan menunggu," kenang Ita.
Baca juga: Han dan Kisah-kisah Pilu Saksi Kerusuhan Jakarta Mei 1998: Saat Penjarahan hingga Pembakaran Melanda
Ita tampak berkaca-kaca menceritakan kembali memorinya tentang sosok Fransisca.
Lama-lama, remasan jari-jari Fransisca di jempol kiri Ita melemah. Fransisca pun menghebuskan napas terakhirnya di pangkuan Ita.
"Itu sekitar jam 11.15 WIB, dia meninggal di sini saya, saya pangku begini," cerita Ita.
Setelah Fransisca wafat, Ita masih berucap akan mengantarnya hingga selesai.
Mula-mula, ia mendoakan Fransisca bersama seorang bikku. Keduanya berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, yakni berdoa secara muslim dan berdoa secara Buddha.
Fransisca sendiri beragama katolik, namun pastor sulit ditemui saat itu.
Kemudian, Ita mulai membersihkan pecahan kaca pada tubuh Fransisca memakai pinset. Proses tersebut memakan waktu hingga sekitar 1,5 jam.
"Jadi hampir 1,5 jam pakai pinset saya bersihkan, terus sambil saya ngomong ke dia, 'Fransiska nanti saya bersihkan, ya. Kamu nanti akan cantik, akan begini, ya,'. Dan itu saya (melakukannya) sendirian saja," tuturnya.
Baca juga: Kesaksian Ngalimun Saat Glodok Porak-poranda Dibakar Massa pada Kerusuhan 1998
Setelah pendarahan dibersihkan, Ita memakaikan tampon. Begitu pula membelikan baju untuk dipakai Frasisca esok hari menuju tempat kremasi di daerah Cilincing.
Saat itu, Ita memang sudah berbicara dengan teman satu timnya meminta waktu tiga hari, untuk mengantar Frasisca hingga peristirahatan terakhir.
Abu hasil kremasi pun dia urus sendiri. Menyaring abu, memasukkannya ke dalam guci, hingga naik kapal untuk membuang abu Fransisca.
"Sampai sekarang Fransisca seperti menjadi jiwa saya. Kalau saya sedih, sepertinya dia datang. Itu pengalaman saya yang paling dahsyat. Ini sudah enggak bisa, ini sudah melampaui kemanusiaan," ucap Ita.