JAKARTA, KOMPAS.com - “Terakhir kali saya melihatnya 31 Agustus 1996, sebelum ia berangkat ke Jakarta,” kata Karsiyah terisak-isak.
Karsiyah adalah ibu kandung Hendriawan, mahasiswa Universitas Trisakti Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Angkatan 1996 yang tewas tertembak dalam aksi demonstrasi 12 Mei 1998, peristiwa yang kini dikenal sebagai Tragedi Trisakti.
25 tahun yang lalu, demonstrasi besar-besaran terjadi di Jakarta menuntut reformasi. Mahasiswa dari berbagai kampus menentang pemerintahan Orde Baru dan menuntut Presiden Soeharto mundur.
Pemerintahan Orde Baru dinilai telah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hingga menyeret negara ke pusaran krisis moneter.
Baca juga: Teralis Besi di Rumah Warga Tambora, Melindungi saat Kerusuhan 1998, Memerangkap saat Kebakaran
Demonstrasi saat itu berujung kaos. Aparat menembaki mahasiswa.
Selain Hendriawan, tiga mahasiswa Trisakti lainnya juga tewas tertembak dalam tragedi ini. Ketiganya yakni Elang Mulia Lesmana, Hafidi Alifidin, dan Heri Heriyanto.
Selain itu, puluhan mahasiswa mengalami luka berat dan ringan akibat peristiwa ini.
Kepada Harian Kompas, 14 Mei 1998, Karsiyah menceritakan kepedihannya kehilangan putra semata wayang. Karsiyah mengenang, kala itu, sang putra baru saja meminta doa restu darinya untuk menghadapi ujian tengah semester.
“Ia berjanji akan pulang setelah selesai ujian tengah semester ini," katanya.
13 Mei 1998, sehari setelah tragedi berdarah itu, Karsiyah dan sang suami yang tidak lain adalah ayah Hendriawan, Hendriski, bertolak dari Balikpapan ke Jakarta untuk melihat sang putra untuk yang terakhir kali.
Saat itu, jenazah disemayamkan di rumah keluarga Subandi, paman Hendriawan yang terletak di Kompleks Departemen Agama, Kedoya, Jakarta Barat. Rumah mungil tersebut seketika sesak dipenuhi para pelayat.
Di ruang tamu rumah itu, terbujur kaku tubuh Hendriawan dalam peti kayu cokelat.
Sementara, sang ayah, Hendriski, terlihat lebih tegar. Hendriski mengenang, dua hari sebelum peristiwa memilukan itu, dia baru menerima surat dari putranya.
"Di dalam suratnya, ia menulis tentang resesi yang melanda Indonesia, keluhan-keluhannya, juga cerita tentang keadaan Jakarta," ujar Hendriksi sambil menahan air mata.
Baca juga: Reformasi 1998, Quo Vadis?
Menjelang tengah hari, jenazah Hendriawan dibawa ke Masjid Muhajidin, masih di Kompleks Departemen Agama.
Kala itu, Karsiyah yang sudah siuman menatap dan menciumi wajah Hendriawan untuk terakhir kalinya. Karsiyah berbisik, dia merelakan dengan ikhlas kepergian putranya.
Jenazah lantas dikebumikan di TPU Rawa Kopi, Kedoya. Ratusan pelayat yang mewakili berbagai perguruan tinggi menghadiri upacara pemakaman. Di luar area pemakaman, polisi militer berjaga-jaga.
Beberapa hari setelah peristiwa itu tepatnya 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Ini sekaligus menandai akhir rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.