Keberhasilan menghijrahkan Sungai Citarum dari tercemar berat ke tercemar ringan berkat peran dan kolaborasi multi pihak atau pentahelix.
Penanganan Sungai Citarum, bahkan dijadikan model atau percontohan oleh pemerintah pusat dalam menangani hal-hal serupa.
Namun saat ini, kolaborasi pentahelix yang awal program Citarum Harum demikian gegap gempita, kini dirasakan mulai melemah dan memudar.
Secara historis, sesungguhnya sudah ada tiga program besar untuk rehabilitasi sungai terpanjang di Jawa Barat itu.
Pada periode 2000-2003, pernah ada program Citarum Bergetar. Kata “bergetar” ialah singkatan bersih, geulis (cantik dalam bahasa Sunda), dan lestari.
Program Citarum bergetar ini berfokus pada pengendalian pemulihan konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
Namun kemudian hari, program ini dianggap belum optimal mengatasi pencemaran di sungai yang menghidupi setidaknya 27,5 juta jiwa warga Jawa Barat dan sumber air utama bagi warga DKI Jakarta. Dan sumber listrik yang memasok sebagian besar kebutuhan listrik Jawa dan Bali.
Namun masalah di Sungai Citarum kian kompleks. Mulai dari deforestasi hutan di area hulu, puluhan ribu sampah yang tak terangkut tiap harinya, kotoran manusia dan ternak, ratusan ribu ton limbah industri per hari, hingga persoalan tata ruang di hulu dan sepanjang bantaran sungai.
Pada 2008, pemerintah menyepakati tawaran pinjaman dari Asian Development Bank (ADB) untuk memulihkan Citarum.
Besar paket pinjaman itu senilai 500 juta dollar AS atau sekitar Rp 6,7 triliun. Program jangka panjang 2008-2023 ini bernama Integrated Citarum Water Resources Management Investement Program (ICWRMIP) atau Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Wilayah Sungai Citarum.
Namun program tersebut mendapatkan kritikan keras dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA/Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air).
Mereka berpendapat bahwa restrukturisasi sektor sumber daya air dengan menempatkan air sebagai barang ekonomi hanya akan menjadikan air sebagai komoditas dan mendorong privatisasi air.
Pada akhirnya akan menimbulkan kerugian kepada masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan petani.
KRuHA juga berpendapat bahwa negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk air.
Menempatkan air sebagai barang ekonomi, akan mengalihkan tanggung jawab untuk menyediakan air dari negara ke sektor swasta.