Budaya sepakat dalam perbedaan sebagai implementasi prinsip demokrasi, yakni mengajar dan menyikapi perbedaan pandangan dengan kerangka pikir hikmah atau pengajaran yang baik (mauidotil hasanah).
Implementasinya, sikap legowo dalam menyikapi perbedaan soal artifisial dalam beragama. Prinsipnya, perbedaan produk hisab dan rukyat tentang hari raya Islam, tidak menggugurkan rukun puasa wajib dan keabsahan puasa Ramadhan.
Perbedaan itu tidak layak didorong ke ranah politik. Akar persoalan perbedaan itu pada tataran metode mencapai ilmu pengetahuan (epistemologi dan aksiologi).
Pada level ontologi atau prinsip ibadah puasa Ramadhan tidak ada perbedaan, yaitu sikap menahan diri dari nafsu makan dan minum yang didasari norma-norma agama sebagai bagian proses mencapai manusia mulia, yang terbaik di sisi Allah SWT (taqwa).
Mengikuti alur pemikiran Mukti Ali, perbedaan pemahaman nilai-nilai agama dan penentuan hari raya Islam tidak mereduksi kondisi sosial setiap umat Islam untuk melaksanakan kewajiban puasa dan melaksanakan tradisi sungkem, saling memaafkan pada momentum Idul Fitri dalam keadaan rukun dan damai.
Kerukunan hidup internal umat Islam tetap kondusif ketika masing-masing pemeluk Islam bersikap setuju dalam ketidaksetujuan atau sepakat dalam perbedaan.
Tradisi menerima perbedaan sebagai budaya panjang dalam sejarah pemikiran Islam. Para ulama besar membudayakan sepakat dalam perbedaan sebagaimana diekspresikan Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali.
Mereka tidak pernah mendistorsi perbedaan pandangan dan sikap keberagaman antarmereka serta penganutnya. Mereka mendiseminasi pemikirannya layaknya air sungai mengalir secara alami.
Tidak melawan arus dengan mengedepankan perbedaan, sebaliknya mereka mengeksplorasi kesamaan pemikiran untuk mencapai kemaslahatan.
Ketika peneliti senior dan yunior BRIN gagal dalam menerima perbedaan metode hisab dan rukyat itu pertanda kemunduran cara menyikapi perbedaan pengetahuan.
Dalam metodologi ilmu pengetahuan saja terdapat perbedaan paradigma (positivis, interpretatif, konstruktivis/dekonstruktivis/kritis).
Berbeda pula metodenya (positivistic identic kuantitatif, interpretative identic dengan kualitatif, kontruktivis/dekonstruktivis/kritis identic dengan kualitatif kritis).
Produk pengetahuan dan ideologinya berbeda pada setiap metodologi dan metode yang berbeda-beda.
Ketika peneliti tidak memahami atau tidak menerima perbedaan metodologi dan metode, itu problem mendasar dalam berpengetahuan.
Saat tidak menerima perbedaan pengetahuan ditarik ke perbedaan dalam metode yang berkaitan dengan sikap beragama, maka hasilnya sangat ambigu dan tidak adil.
Peneliti itu sedang menunjukkan dirinya sebagai sosok fanatik pada satu metode tertentu saja.
Dalam kasus intelektual tidak mau memahami perbedaan metode dan prinsip sepakat dalam perbedaan, maka ilmu pengetahuan dan sikap saling percaya di ambang kematian.
Mengapa? Kalangan awam saja bisa sepakat dalam perbedaan dan metode menentukan hari raya. Ini bisa dikonfirmasi pada shalat Idul Fitri 1444 H/2023 M di berbagai lokasi, pelaksanaan shalat Idul Fitri dilakukan dua kali, Jumat 21 April dan Sabtu 22 April.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.