PERSPEKTIF perempuan terhadap politik masih bersifat makro. Perempuan memandang “panggung politik” bukan sebagai dunia perempuan, tetapi tidak harus dijauhi oleh perempuan, sekalipun laki-laki lebih banyak terjun dalam kegiatan politik.
Perempuan juga tidak mempersepsi politik sebagai dunia yang kotor, sekalipun kehidupan di dalam dunia politik praktis penuh dinamika yang bermakna konflik, pertentangan yang mengarah pada perebutan kekuasaan dan jabatan.
Kendati demikian, perempuan memberikan penilaian kotor terhadap aktor-aktor politik. Kekotoran dalam panggung politik itu, misalnya, untuk mendapatkan kekuasaan, jabatan, atau kedudukan, sehingga acapkali memakai cara atau mendayagunakan, serta memperdaya pihak lain. Bahkan sampai mengatasnamakan pihak lain yang mayoritas demi kepentingan sendiri.
Hal ini terungkap dari hasil riset mini penulis dengan judul “Prespektif Perempuan Terhadap Politik”.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana persepsi perempuan tentang politik. Apakah terjun ke dunia politik dipandang sebagai hal yang tabu, sebagai bagian dari nilai-nilai, atau pandangan tradisional.
Hal itu terbukti bahwa calon kepala daerah dari pihak perempuan lebih sedikit dari laki-laki pada Pilkada 2020.
Pilkada yang diselenggarakan secara serentak di 270 daerah di Indonesia pada 9 Desember 2020 lalu, hanya lima perempuan menjadi calon gubernur, 26 orang perempuan menjadi calon wali kota, dan 123 orang perempuan menjadi calon bupati.
Padahal potensi perempuan Indonesia secara kuantitas sangat besar jumlahnya. Dari sensus penduduk tahun 2022 tercatat sekitar 135 juta perempuan dari 273 juta jiwa penduduk Indonesia.
Bahkan dalam lembaga tinggi negara seperti DPR, BPD, MK, dan lainnya dapat dilihat presentase perempuan sangat kecil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (PBS), terdapat 575 orang terpilih yang duduk di DPR periode 2019—2024. Dari jumlah tersebut, terdapat 120 orang wakil rakyat yang berjenis kelamin perempuan.
Sementara, sebanyak 136 anggota DPD periode 2019—2024 yang terpilih dari 24 daerah pemilihan, terdapat 42 anggota perempuan.
Sepengetahuan saya, hanya satu perempuan yang duduk di kursi Mahkamah Konstitusi, yakni Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.H.
Sementara dalam Kabinet Indonesia Maju yang sedang berjalan hanya ada enam orang menteri perempuan, yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani; Menteri Sosial Tri Rismaharani; Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar; Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati; Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah; dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Persepsi perempuan terhadap politik cenderung tidak begitu ditentukan oleh tingkat pendidikannya. Perempuan yang berpendidikan SMPT juga sudah mengetahui politik, dalam arti mereka bisa memberikan semacam pengertian dan mengemukakan pandangannya tentang politik.
Aktif atau tidaknya responden berorganisasi juga tidak memengaruhi persepsi tentang politik. Artinya responden yang berlatar belakang sebagai aktivis seperti organisasi sosial kemasyarakatan atau pun organisasi sosial politik, memberi arti politik tidak jauh berbeda dengan responden yang tidak aktif di organisasi sosial dan organisasi politik.