ADANYA penolakan shalat Idul Fitri di fasilitas publik yang dimiliki Pemkot Sukabumi dan Pemkot Pekalongan untuk shalat Idul Fitri pada Jumat, 21 April 2023, mengundang beragam komentar hingga polemik.
Perbedaan penetapan tanggal hari raya masih menjadi persoalan, meski intensitasnya mulai mengecil dibandingkan era sebelumnya.
Maka di sinilah pentingnya literasi beragama, utamanya toleransi internal umat beragama dan toleransi antarumat beragama. Idealnya setiap insan beragama mampu merayakan perbedaan dengan indah dalam bingkai kemanusiaan dan kebangsaan.
Meski ada perbedaan dalam penetapan Hari Raya Idul Fitri 1444 H, sejatinya hari raya harus tetap menjadi momen yang penuh dengan keceriaan, kebersamaan, dan keikhlasan dalam beribadah.
Dan tentu saja, sebagai seorang Muslim harus selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan dalam menjalankan ibadah.
Termasuk peran signifikan dari pemerintah, sebagaimana yang diharapkan oleh Haedar Nashir, Ketua Umum Muhamadiyah, “Negara harus hadir menjadi pihak yang adil dan ihsan dalam memandang dan memberikan fasilitas jika terjadi perbedaan waktu Hari Raya Lebaran Idul Fitri 2023 di Indonesia.”
Masyarakat harus memaknai perbedaan sebagai keberkahan, sebagaimana pesan Rasulullah SAW, al ikhtilaafu ummati rahmah yang berarti perbedaan di antara umatku adalah rahmat.
Perbedaan harus dimaknai sebagai keindahan yang harus dipupuk dan tidak dijadikan sebagai alat politis yang berpotensi menumbuhsuburkan konflik dan perpecahan bangsa.
Momentum Idul Fitri 1444 H adalah momentum kembali kepada fitrah manusia yang sesungguhnya, yakni fitrah manusia yang mencintai kebenaran, kebaikan, keindahan dan kedamaian.
Dengan dilandasi semangat spiritual dan kebangsaan diharapkan mampu memupuk persatuan dan kesatuan bangsa untuk meredam perpecahan bangsa.
Beribadah bagi umat beragama merupakan hak asasi paling dalam yang harus dipahami oleh setiap manusia, termasuk umat Islam.
Tulisan imam besar Masjid Istiqlah, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar merujuk pesan Nabi Muhammad SAW, yang sejak awal selalu memberikan perhatian terhadap hak beribadah kepada umat non-Muslim.
Nabi Muhammad SAW juga memberi kesempatan kepada umat non-Muslim beribadah atau Nabi tidak pernah terdengar mencekal seseorang melakukan ibadah, asal yang dilakukan itu betul-betul ibadah sesuai dengan tuntunan ibadah dalam agamanya.
Bahkan Nabi Muhammad, senantiasa mengingatkan umatnya jika melakukan peperangan dengan suatu kaum agar tidak merusak atau menghancurkan rumah-rumah ibadah mereka.
Larangan seperti ini terus dipertahankan para Khulafa al-Rasyidin yang melanjutkan kepemimpinan Nabi setelah wafat.