Kepentingan tertinggi merupakan ide dasar dari suatu identitas. Ketika ide didefinisikan oleh filsuf Plato sebagai “sesuatu yang kekal dan absolut” bersamaan pula identitas menjadi abadi.
Kemudian dalam konstelasi geopolitik, identitas jadi ciri khas suatu negara dilihat sebagai totalitas, yaitu negara yang dibatasi oleh wilayah, penduduk, sejarah, pemerintahan, dan tujuan nasionalnya, serta peranan yang dimainkan di dunia internasional.
Dalam bahasa yang gamblang, aktivis kenamaan Andrea Dworkin (1946 – 2005), mempertegas bahwa “Semua dominasi pribadi, psikologis, sosial, dan yang dilembagakan di bumi ini dapat ditelusuri kembali ke sumbernya: identitas.”
Dan semua definisi identitas itu dimasukan dalam ihwal politik, maka menjelma menjadi politik identitas. Lalu setiap orang –maupun partai politik-- memiliki politik identitasnya masing-masing. Ini adalah nilai kodratik.
Tetapi takala nilai kodratik tersebut dieksploitasi, dipolitisir, sehingga kadar porsi politik identitas melebihan dosis sehat –karuan saja berbahaya buat keutuhan bangsa ini.
Sejarah mengerikan ini pernah terjadi dalam dinamika demokrasi Indonesia, yang mana takaran politik identitas sudah kelebihan dosis mewarnai Pemilu 2014.
Dalam pesta demokrasi tersebut tampak ada kelompok yang menggunakan politik identitas untuk mendapat dukungan –baik menggunakan isu, ras, agama, maupun suku. Kemudian pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, dan pada tahun 2019, politik identitas juga dimainkan.
Apakah pada Pemilu 2024 politik identitas juga dimainkan? Persoalannya, dalam konteks kontestasi politik praktis, penggunaan politik identitas dianggap salah satu cara politikus dalam meraih simpati masyarakat.
Bagaimanapun ketika identitas dipolitisasi sebagai alat perlawanan, yang secara ekstrem direpresentasikan bertujuan mendapatkan dukungan dari orang-orang yang merasa “sama” –baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen lainnya, jelas ia memakai cara-cara teror.
Semula cara-cara teror ini dipakai dengan cara kasat mata, antara lain meledakan bom (bunuh diri), kemudian masuk ke cara-cara halus yang sifatnya konstitusional.
Maka jelas ini adalah sebuah ancaman –sebuah usaha yang bersifat mengubah atau merombak kebijaksanaan secara konsepsional dari sudut politis.
Bentuk ancaman ini perlu mendapat perhatian, karena semua ancaman yang ditujukan terhadap semua bidang kehidupan masyarakat, apapun macam dan bentuknya, sekecil apapun itu tidak boleh diremehkan.
Hal ini perlu ditegaskan, lantaran pada umumnya secara tradisional yang dianggap ancaman hanyalah ancaman yang bersifat fisik militer dan dari luar.
Padahal, orientasi politik yang pada ujungnya mengubah ideologi Pancasila secara pelan-pelan dan halus pun adalah ancaman yang bisa ada dalam dinamika politik. Terlebih BNPT telah memberitahukan ada pihak yang terafiliasi kelompok terorisme masuk menjadi anggota partai politik (parpol).
Ancaman ini punya misi sasaran utama, antara lain, mengolah kelemahan atau kerawanan yang terdapat dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam. Apabila lawan berhasil mengeksploitasi kerawanan ini, maka akan sangat merosotlah pertahanan nasional Indonesia.