JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kembali mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat peraturan baru soal sosialisasi peserta pemilu sebelum masa kampanye.
Sebab, saat ini sudah ada peserta pemilu yang ditetapkan oleh KPU, yaitu 24 partai politik, namun masa kampanye baru resmi dimulai pada 28 November 2023.
Ada jeda waktu yang dianggap terlalu lama untuk membiarkan peserta pemilu melakukan sosialisasi kepada pemilih tanpa rambu-rambu.
"Sosialisasi bahkan hampir tidak ada larangannya," ujar Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja kepada wartawan, Minggu (9/4/2023).
Baca juga: Said Abdullah Bagi-bagi Amplop, PDI-P: Kalau Tanpa Logo Partai, Enggak Protes Toh?
Sejauh ini, peraturan yang ada hanyalah Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018 yang dibuat untuk konteks Pemilu 2019. Itu pun cuma mengatur sekelumit soal sosialisasi dan substansinya dianggap perlu pembaruan.
Dalam beleid itu, peserta pemilu dilarang kampanye di luar jadwal, dengan karakteristik kampanye meliputi ajakan memilih, pemaparan visi-misi, dan citra diri.
Sementara itu, PKPU itu mengatur bahwa sosialisasi termasuk penampilan logo dan nomor urut partai politik, hanya dapat dilakukan di lingkup internal. Itu pun harus atas pemberitahuan kepada Bawaslu.
Baca juga: Bawaslu Soroti Parpol Tertentu Leluasa Ngiklan di TV, Padahal Belum Kampanye
Bagja menilai, hal ini sudah tidak relevan pula. Di jalan-jalan raya, bendera maupun spanduk partai politik dan politikus sudah tersaji di mana-mana.
Di televisi, tak sedikit partai politik yang sudah belanja iklan. Padahal, merujuk aturan, belanja iklan televisi hanya bisa dilakukan di 21 hari masa kampanye.
Di sisi lain, partai politik merasa perlu untuk melakukan sosialisasi karena sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 sejak Desember 2022.
"Masa sosialisasi adalah masa untuk menyebarkan informasi," kata dia.
Namun, di masa sosialisasi ini, tidak ada aturan terkait pertanggungjawaban dana. Aturan semacam itu hanya ada pada masa kampanye.
Bagja memberi contoh, akibat ketiadaan aturan baru soal sosialisasi, akhirnya Bawaslu tidak bisa melakukan penindakan terhadap aktivitas-aktivitas bermasalah.
Misalnya, baru-baru ini, Bawaslu menyatakan bahwa aksi bagi-bagi amplop berlogo PDI-P yang terjadi di beberapa masjid dan mushala di Sumenep, Jawa Timur, bukan pelanggaran.
Bawaslu mengakui bahwa sebetulnya peristiwa ini memang mirip dengan unsur kampanye dan politik uang.
Namun, pada akhirnya, Bawaslu mengaku tidak dapat mengategorikan peristiwa ini sebagai pelanggaran pemilu maupun pelanggaran administrasi, karena belum masa kampanye.
Baca juga: Eko Patrio: Video Bagi-bagi Sembako yang Viral Bukan Kampanye Politik, tapi...
Sementara itu, PDI-P sebagai peserta pemilu juga dianggap tak dapat dikenai jerat hukum karena pembagian uang ini merupakan inisiatif pribadi Said Abdullah, kader mereka yang wajahnya terpampang di amplop itu.
Said sendiri dinilai tidak dapat dijerat pelanggaran karena belum berstatus sebagai peserta Pemilu 2024, meskipun uang Rp 300.000 per orang yang dibagikan memang berasal dari dirinya melalui Said Abdullah Institute ke takmir-takmir masjid atau pengasuh pondok pesantren.
Pun, hasil pemeriksaan Bawaslu, pembagian uang ini tak disertai dengan ajakan memilih. Di sini lah titik rawannya.
"Masalah kemarin Sumenep, menjangkaunya seperti apa? (Istilah) politik uang itu hanya pada larangan kampanye, tidak pada masa sosialisasi. Tapi apakah boleh politik uang? Tentu tidak boleh. Namun dengan zakat bagaimana? Kita ketemu titik rawan masa Ramadhan ini," ungkap Bagja.
Baca juga: Bawaslu Akui Bagi-bagi Amplop PDI-P di Masjid Mirip Kampanye, tapi ...
"Itu (pelanggaran) tidak terbukti (karena minimnya aturan), bukan kemudian boleh, tapi itu tidak terbukti," tambahnya.
Kewenangan Bawaslu menindak pelanggaran berupa kampanye di luar jadwal pada akhirnya selalu mentok pada dua soal: belum dimulainya masa kampanye (28 November 2023-10 Februari 2024) serta belum ditetapkannya peserta Pemilu 2024.
Sebelumnya, Bawaslu juga menyatakan tak bisa memproses dugaan pelanggaran pada 2 kasus curi start kampanye besar yang jadi sorotan dan melibatkan politikus kelas kakap, karena alasan yang sama.
Dua peristiwa itu adalah, pertama, bagi-bagi minyak goreng oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di Lampung pada 9 Juli 2022 yang disertai ajakan memilih untuk putrinya Futri Zulya Savitri pada Pemilu 2024.
Kedua, peristiwa bakal calon presiden Partai Nasdem Anies Baswedan yang dilaporkan karena dinilai memobilisasi massa untuk safari politiknya di sebuah masjid di Aceh pada 2 Desember 2022.
Bagja mengatakan bahwa pihaknya sudah 4-5 kali duduk bareng KPU membicarakan hal ini, namun menemui jalan buntu.
Sebelumnya, KPU juga sudah menyatakan urung membuat peraturan baru soal sosialisasi partai politik peserta Pemilu 2024 sebelum masa kampanye.
KPU RI berpandangan bahwa Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018, yang dibentuk untuk menyongsong Pemilu 2019, masih relevan untuk dipakai sekarang.
"Ini menjadi isu yang kami diskusikan. Masing-masing (KPU dan Bawaslu) melakukan kajian. Kajian di tim KPU sampai akhir Januari itu menyatakan Peraturan KPU yang tersedia (Nomor 33 Tahun 2018) sudah mencukupi untuk sosialisasi," ungkap Koordinator Divisi Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat KPU RI, August Mellaz, dalam diskusi di kantornya, Jumat (24/2/2023).
"Jadi enggak perlu bikin lagi Peraturan KPU yang khusus sosialisasi," ia menambahkan.
Dengan itu, maka Bawaslu hanya bisa menggunakan PKPU Nomor 33 Tahun 2018 sebagai pijakan untuk menentukan mana aktivitas yang bisa dianggap pelanggaran atau tidak. Sayangnya, beleid ini sangat minim mengatur soal sosialisasi peserta pemilu sebelum masa kampanye.
"Sosialisasi yang seperti apa yang bisa dilakukan partai politik, yaitu yang ada di Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018, Pasal 25," ujar Mellaz.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.