Kapasitas desa baik secara landscape (bentang alam) maupun lifescape (bentang hidup) tidak mampu mendorong kemakmuran karena kesulitan menkonversinya menjadi modal desa, hal ini merupakan hasil dari proses negaranisasi dan kooptasi negara terhadap desa.
Arah revisi UU Desa yang berfokus pada penambahan masa jabatan kepala desa jelas lebih bersifat politis ketimbang normatif. Hukum dibentuk harus berangkat dari nilai-nilai moralis, bukan sebatas pragmatis.
Pada akhirnya, pembacaan hukum sebagaimana ditawarkan oleh Ronald Dworkin (1996) adalah pembacaan moral (moral reading) oleh karenanya pembentukan hukum adalah kristalisasi dari moral itu sendiri.
Jika nantinya UU Desa akan direvisi, maka harus diperhatikan dari dua dasar utama, yakni: a) perlindungan terhadap hak tradisional atau hak asal-usul; b) dorongan peningkatan penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif dan demokratis.
Dari dua kacamata ini, maka untuk UU Desa saat ini telah gagal menjalankan tugasnya dalam mengembalikan desa pada marwahnya, yakni desa mawa cara, negara mawa tata.
Mengikuti Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), korupsi terhadap dana desa ternyata yang terbanyak, yakni 154 kasus pada 2021.
Kabar buruk lainnya, tren korupsi dana desa setiap tahun bukannya menurun, malah makin meningkat.
Hal ini sering diasumsikan “ketidakmampuan” Pemerintah Desa dalam mengelola dana desa, padahal problem ini dikarenakan kurangnya partisipasi publik, yakni masyarakat desa sebagai kapasitas sosial utama dalam penyelenggaraan pemerintah desa.
Selama puluhan tahun, terutama pascamunculnya UU No. 5/1979 tentang Desa kewenangan Pemerintah Desa diamputasi dan dikooptasi sebagai subordinat supra¬-desa namun tiba-tiba diberikan kewenangan tanpa mengembalikan “ruh” demokrasi desa yang juga tercerabut akibat proses kooptasi tersebut.
Tanpa demokrasi desa, maka pemberian kewenangan yang besar kepada Pemerintah Desa melalui UU Desa tidak lain mendorong perwujudkan pemerintahan yang paternalistik dan korup.
Demokrasi desa ini harus ada pada 3 (tiga) aspek, yakni: a) suksesi politik; b) penyelenggaraan pemerintahan; dan c) produk hukum desa.
Suksesi politik desa dengan pemilihan langsung (vide Pasal 34 ayat (1) UU Desa) bukanlah jaminan demokrasi. Sebaliknya dalam sejarah tercatat awal permulaan money politic adalah pada saat di era kolonial sistem pemilihan kepala desa yang awalnya musyawarah diganti dengan pemilihan langsung.
Begitu juga dalam penyelenggaraan pemerintahan, hari ini desa lebih terkesan elitis daripada organis-partisipatif terutama dominasi kontrol terhadap anggaran yang masih didominasi oleh elite desa.
Terakhir adalah lemahnya inisiatif produk hukum desa karena salah satunya kurangnya insiatif dan ketidakacuhan masyarakat terhadap produk hukum di desanya.
Kekhawatiran revisi UU Desa adalah bias kekuasaan haruslah ditepis, namun ini merupakan peluang untuk menata kembali desa agar lebih baik dan demokratis.
Permintaan kepala desa berkaitan masa jabatan adalah sembilan tahun adalah bagian dari proses demokrasi di tingkat nasional, semangat yang sama juga seharusnya diturunkan kepada masyarakat desa.
Problem mindset saat ini adalah melihat jabatan kepala desa secara politis sehingga kepala desa terjebak dalam sistem birokrasi yang elitis dan paternalistik.
Jabatan kepala desa haruslah organis, yakni berangkat dari demokrasi deliberatif sehingga mampu mendeliberasi berbagai kepentingan masyarakat desa.
Momen upaya revisi UU Desa ini haruslah didukung dan dikawal oleh segenap masyarakat karena seperti yang dikatakan oleh kepala desa terbaik, yakni Wahyudi Anggoro Hadi, bahwa masa depan Indonesia adalah desa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.