Rumah mewah Rafael yang berada di Kawasan Simprug, Jakarta Selatan bisa dijadikan posko bantuan sosial bagi keluarga yang memiliki bayi-bayi stunting agar tingkat stunting di Jakarta Selatan yang sekarang di angka 11,9 bisa turun di tahun-tahun yang akan datang.
Angka 11,9 itu berarti, dari 100 bayi yang ada di Jakarta Selatan ada hampir 12 bayi yang tergolong stunting.
Perumahan mewah yang sahamnya dimiliki istri Rafael di Manado pun juga bisa dimaksimalkan untuk berkontribusi dalam menurunkan angka stunting 18,4.
Tentu bukan sekadar mengiklaskan rumah, tetapi Rafael juga bisa mendermakan uang-uangnya yang tidak terhitung.
Andai saja istri Kepala Sub Bagian Administrasi Kendaraan Biro Umum Kementerian Sekretariat Negara Esha Rahmansah Abrar lebih “sengaja” menyumbangkan hartanya untuk mendukung tekad Presiden Jokowi menurunkan angka stunting di 2024 menjadi 14 persen, tentu suaminya akan beroleh penghargaan dari negara.
Istri Esha ternyata lebih “tidak sengaja” membeli mobil seharga Rp 407 juta tanpa angsuran, seperti flexingnya di media sosial lengkap dengan foto mobil dan bukti kontan pembelian kendaraan.
Di saat sebagian rakyat di negeri ini masih “nungging-nungging” mencari penghasilan halal, tindakan “biadad” abdi negara yang memperoleh harta jarahan dari wajib pajak dan wajib cukai sepertinya sebuah ironi di negeri penganggung revolusi mental.
Kematian pengantar paket Yulan Susilo (42) warga Kampung Slipi, Jakarta Barat yang kelelahan saat mengantar barang kiriman di depan rumah penerima paket di Perumahan Intercon, Kembangan, Jakarta Barat menjadi gambaran betapa susahnya mencari rezeki di negeri ini (Kompas.com, 18/02/2023).
Para pengantar paket berbasis online sudah jamak mendapat perlakuan yang tidak manusiawi mengingat target yang dibebankan perusahaan, dengan minimnya pendapatan apalagi ketiadaan jaminan sosial yang memadai.
Rakyat kecil begitu sulit mencari sedikit rupiah, istilahnya kepala dijadikan kaki dan kaki dijadikan kepala. Wong cilik rela “nungging” agar bisa makan, bayar sekolah anak dan bisa membayar angsuran aneka cicilan.
Di sisi lain, pejabat-pejabat kita begitu “lapar” tak berkesudahan memakan uang rakyat dan dengan bangganya bisa flexing tanpa dosa di media sosial.
Rakyat miskin bisanya hanya thrifting – dan itu pun dilarang – sementara masih banyak bayi yang stunting.
“Partai Pelopor harus sempurna dalam ideologi, di dalam kedisiplinan, dan di dalam organisasinya. Hanya dengan begitu, Partai Pelopor bisa mencetak kader yang teguh dan mampu menjalankan kerja-kerja partai” – Bung Karno.
Selarik kalimat yang tertulis di dinding Sekolah Partai PDI Perjuangan di Kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan itu mengingatkan saya akan gagasan dan perjuangan Proklamator Soekarno.
Radikalisme massa tidak bisa lahir dengan kesengsaraan saja, tidak bisa subur dengan kemelaratan saja.
Radikalisme massa menurut Bung Karno lahir dari perkawinannya kemelaratan massa dengan didikan massa; perkawinannya kemelaratan massa dengan perjuangan massa!
Saatnya bangsa ini memiliki kader-kader militan anti-flexing tapi peduli stunting. Kader yang rela nungging untuk perjuangan membantu rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.