Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Komnas HAM Anggap Pemerintah Lamban dan Biarkan Kasus Gagal Ginjal Akut

Kompas.com - 12/03/2023, 08:38 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menduga pemerintah melakukan pembiaran terhadap kasus gagal ginjal akut pada anak yang telah terjadi sejak 2022.

Dugaan itu disampaikan dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Sabtu (11/3/2023).

Komnas HAM secara khusus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa negara melakukan pembiaran tersebut.

Baca juga: Komnas HAM Minta Keluarga Gagal Ginjal Akut Lapor jika Alami Kesulitan Berobat

Pembiaran ini mengakibatkan hilangnya hak hidup dan hak atas kesehatan bagi 326 anak-anak dan balita yang mengidap gagal ginjal akibat keracunan obat sirup.

"Rekomendasi kepada Presiden Republik Indonesia, terkait penanganan dan pemulihan korban, mengakui bahwa negara melakukan pembiaran atau tindakan tidak efektif yang mengakibatkan hilangnya hak untuk hidup," kata Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Sabtu.

Permintaan ini merupakan salah satu rekomendasi yang disampaikan Komnas HAM terkait kasus gagal ginjal akut pada anak.

Tidak transparan dan tanggap

Selain itu, Komnas HAM juga berkesimpulan bahwa pemerintah tidak transparan dan tanggap dalam proses penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak atau kerap dikenal sebagai acute kidney injury/AKI).

Lambatnya informasi yang diberikan pemerintah terkait gagal ginjal akut menjadi salah satu catatan Komnas HAM.

Di sisi lain, pemerintah juga dinilai tidak efektif dalam proses identifikasi penyebab gagal ginjal akut. Kemudian, tidak efektifnya pengawasan sistem kefarmasian.

Baca juga: Gagal Ginjal Akut Anak Tak Ditetapkan sebagai KLB, Komnas HAM Minta UU Direvisi

Komnas HAM juga menemukan fakta buruknya koordinasi antara lembaga otoritatif dan industri dalam sistem layanan kesehatan dan kefarmasian, serta tidak maksimalnya penanganan korban dan keluarga korban.

"Pemerintah tidak transparan dan tanggap dalam proses penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia, terutama dalam memberikan informasi yang tepat cepat kepada publik untuk meningkatkan kewaspadaan serta meminimalisir dan mencegah bertambahnya korban," kata Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Sabtu.

Kesimpulan lainnya, ada ketidakefektifan tindakan surveilans kesehatan atau penyelidikan epidemiologi yang dilakukan pemerintah dalam menemukan faktor penyebab kasus gagal ginjal.

Hal ini membuat jatuhnya korban jiwa tidak dapat diminimalisir, dan tidak mencegah lonjakan kasus.

Pemerintah juga dianggap tidak efektif dalam kebijakan dan tindakan pengawasan terhadap sistem kefarmasian, baik dari aspek produksi dan peredaran obat.

Baca juga: Komnas HAM Minta Presiden Akui Negara Lakukan Pembiaran dalam Kasus Gagal Ginjal Akut

Pemulihan korban

Terkait penanganan dan pemulihan korban, Komnas HAM juga meminta hal itu dipastikan secara komprehensif oleh presiden.

Hal ini dalam rangka menjamin terpenuhinya standar kesehatan tertinggi melalui pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan bagi korban, sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi dan peraturan perundangan-undangan.

Selain itu, Presiden juga diminta memastikan penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban yang mengalami dampak psikologis maupun trauma dan dampak sosial atau ekonomi lainnya.

Bukan tanpa sebab, Komnas HAM mencatat beberapa orangtua korban yang terpaksa meninggalkan pekerjaan untuk merawat buah hati berobat berkali-kali ke rumah sakit.

"Ini diakibatkan peristiwa yang telah menghilangkan setidaknya 204 nyawa anak di Indonesia," ujar Hari.

Baca juga: Komnas HAM soal Gagal Ginjal Akut: Pemerintah Tak Transparan dan Lambat Menanganinya

Libatkan LPSK

Hari Kurniawan mengatakan penanganan dan pemulihan keluarga ataupun korban bisa dilakukan dengan memberikan akses rehabilitasi maupun kompensasi secara cepat dan jangka panjang.

Dengan demikian, Komnas HAM meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan untuk menjamin pemberian restitusi tersebut.

"Komnas HAM meminta kepada LPSK untuk memberikan perlindungan bagi korban keluarga korban dalam rangka menjamin pemberian restitusi dan kompensasi melalui mekanisme peradilan," kata Hari.

Revisi UU Wabah Penyakit Menular

Komnas HAM juga menyoroti tidak ditetapkannya status kejadian luar biasa (KLB) gagal ginjal akut oleh pemerintah.

Dari situ, Komnas HAM merekomendasikan pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

"Untuk itu, perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan yang dimaksud," kata Hari Kurniawan.

Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut, Polri: Praxion Masih Aman Dikonsumsi, Kandungan EG-DEG Tak Lebihi Batas Aman

UU tersebut, jelas Hari, sudah tidak relevan, utamanya ketika kasus gagal ginjal akut pada anak yang notabene bukan penyakit menular dan tidak kunjung ditetapkan sebagai KLB.

Menurut dia, perlu ada pengaturan terkait status KLB pada penyakit tidak menular (PTM) yang bergerak cepat dan memiliki efek perburukan yang signifikan, layaknya kasus gagal ginjal akut akibat obat sirup.

"Sudah tidak relevannya UU Nomor 4 tahun 1984 terutama terkait penetapan status KLB, dalam permasalahan kesehatan. Salah satu substansi penting yaitu belum adanya pengaturan terkait kondisi darurat kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular sebagai KLB," tutur Hari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com