JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menduga pemerintah melakukan pembiaran terhadap kasus gagal ginjal akut pada anak yang telah terjadi sejak 2022.
Dugaan itu disampaikan dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Sabtu (11/3/2023).
Komnas HAM secara khusus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa negara melakukan pembiaran tersebut.
Pembiaran ini mengakibatkan hilangnya hak hidup dan hak atas kesehatan bagi 326 anak-anak dan balita yang mengidap gagal ginjal akibat keracunan obat sirup.
"Rekomendasi kepada Presiden Republik Indonesia, terkait penanganan dan pemulihan korban, mengakui bahwa negara melakukan pembiaran atau tindakan tidak efektif yang mengakibatkan hilangnya hak untuk hidup," kata Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Sabtu.
Permintaan ini merupakan salah satu rekomendasi yang disampaikan Komnas HAM terkait kasus gagal ginjal akut pada anak.
Tidak transparan dan tanggap
Selain itu, Komnas HAM juga berkesimpulan bahwa pemerintah tidak transparan dan tanggap dalam proses penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak atau kerap dikenal sebagai acute kidney injury/AKI).
Lambatnya informasi yang diberikan pemerintah terkait gagal ginjal akut menjadi salah satu catatan Komnas HAM.
Di sisi lain, pemerintah juga dinilai tidak efektif dalam proses identifikasi penyebab gagal ginjal akut. Kemudian, tidak efektifnya pengawasan sistem kefarmasian.
Komnas HAM juga menemukan fakta buruknya koordinasi antara lembaga otoritatif dan industri dalam sistem layanan kesehatan dan kefarmasian, serta tidak maksimalnya penanganan korban dan keluarga korban.
"Pemerintah tidak transparan dan tanggap dalam proses penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia, terutama dalam memberikan informasi yang tepat cepat kepada publik untuk meningkatkan kewaspadaan serta meminimalisir dan mencegah bertambahnya korban," kata Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Sabtu.
Kesimpulan lainnya, ada ketidakefektifan tindakan surveilans kesehatan atau penyelidikan epidemiologi yang dilakukan pemerintah dalam menemukan faktor penyebab kasus gagal ginjal.
Hal ini membuat jatuhnya korban jiwa tidak dapat diminimalisir, dan tidak mencegah lonjakan kasus.
Pemerintah juga dianggap tidak efektif dalam kebijakan dan tindakan pengawasan terhadap sistem kefarmasian, baik dari aspek produksi dan peredaran obat.
Pemulihan korban
Terkait penanganan dan pemulihan korban, Komnas HAM juga meminta hal itu dipastikan secara komprehensif oleh presiden.
Hal ini dalam rangka menjamin terpenuhinya standar kesehatan tertinggi melalui pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan bagi korban, sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi dan peraturan perundangan-undangan.
Selain itu, Presiden juga diminta memastikan penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban yang mengalami dampak psikologis maupun trauma dan dampak sosial atau ekonomi lainnya.
Bukan tanpa sebab, Komnas HAM mencatat beberapa orangtua korban yang terpaksa meninggalkan pekerjaan untuk merawat buah hati berobat berkali-kali ke rumah sakit.
"Ini diakibatkan peristiwa yang telah menghilangkan setidaknya 204 nyawa anak di Indonesia," ujar Hari.
Libatkan LPSK
Hari Kurniawan mengatakan penanganan dan pemulihan keluarga ataupun korban bisa dilakukan dengan memberikan akses rehabilitasi maupun kompensasi secara cepat dan jangka panjang.
Dengan demikian, Komnas HAM meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan untuk menjamin pemberian restitusi tersebut.
"Komnas HAM meminta kepada LPSK untuk memberikan perlindungan bagi korban keluarga korban dalam rangka menjamin pemberian restitusi dan kompensasi melalui mekanisme peradilan," kata Hari.
Revisi UU Wabah Penyakit Menular
Komnas HAM juga menyoroti tidak ditetapkannya status kejadian luar biasa (KLB) gagal ginjal akut oleh pemerintah.
Dari situ, Komnas HAM merekomendasikan pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
"Untuk itu, perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan yang dimaksud," kata Hari Kurniawan.
UU tersebut, jelas Hari, sudah tidak relevan, utamanya ketika kasus gagal ginjal akut pada anak yang notabene bukan penyakit menular dan tidak kunjung ditetapkan sebagai KLB.
Menurut dia, perlu ada pengaturan terkait status KLB pada penyakit tidak menular (PTM) yang bergerak cepat dan memiliki efek perburukan yang signifikan, layaknya kasus gagal ginjal akut akibat obat sirup.
"Sudah tidak relevannya UU Nomor 4 tahun 1984 terutama terkait penetapan status KLB, dalam permasalahan kesehatan. Salah satu substansi penting yaitu belum adanya pengaturan terkait kondisi darurat kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular sebagai KLB," tutur Hari.
https://nasional.kompas.com/read/2023/03/12/08385921/saat-komnas-ham-anggap-pemerintah-lamban-dan-biarkan-kasus-gagal-ginjal-akut