JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa negara melakukan pembiaran dalam kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI) pada anak yang melonjak sejak tahun lalu.
Menurut Komnas HAM, pembiaran mengakibatkan hilangnya hak hidup dan hak atas kesehatan bagi setidaknya 326 anak-anak dan balita yang mengidap gagal ginjal akibat keracunan obat sirup.
Permintaan ini merupakan salah satu rekomendasi yang disampaikan Komnas HAM terkait kasus Gagal Ginjal Akut pada anak.
"Rekomendasi kepada Presiden Republik Indonesia, terkait penanganan dan pemulihan korban, mengakui bahwa negara melakukan pembiaran atau tindakan tidak efektif yang mengakibatkan hilangnya hak untuk hidup," kata Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Sabtu (11/3/2023).
Baca juga: Komnas HAM soal Gagal Ginjal Akut: Pemerintah Tak Transparan dan Lambat Menanganinya
Selain itu, Komnas HAM meminta presiden memastikan penanganan dan pemulihan bagi korban atau penyintas secara komprehensif.
Hal ini dalam rangka menjamin terpenuhinya standar kesehatan tertinggi melalui pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan bagi korban, sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi dan peraturan perundangan-undangan.
Kemudian, memastikan penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban yang mengalami dampak psikologis maupun trauma dan dampak sosial atau ekonomi lainnya.
Sebab, ada beberapa orangtua korban yang terpaksa meninggalkan pekerjaan untuk merawat buah hati berobat berkali-kali ke rumah sakit.
"Ini diakibatkan peristiwa yang telah menghilangkan setidaknya 204 nyawa anak di Indonesia," ujar Hari.
Menurut Hari Kurniawan, penanganan dan pemulihan keluarga ataupun korban bisa dilakukan dengan memberikan akses rehabilitasi maupun kompensasi secara cepat dan jangka panjang.
Dalam hal ini, Komnas HAM meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan untuk menjamin pemberian restitusi tersebut.
"Komnas HAM meminta kepada LPSK untuk memberikan perlindungan bagi korban keluarga korban dalam rangka menjamin pemberian restitusi dan kompensasi melalui mekanisme peradilan," kata Hari.
Sebagai informasi, kasus gagal ginjal akut mencuat sejak tahun lalu yang disebabkan oleh keracunan obat sirup yang mengandung zat kimia berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol (EG/DEG).
Baca juga: Menko PMK: Bantuan untuk Korban Gagal Ginjal Akut Tengah Diproses di Kemensos
Zat kimia berbahaya ini sejatinya tidak boleh ada dalam obat sirup, tetapi cemarannya kemungkinan ada karena zat pelarut tambahan yang diperbolehkan di dalam obat sirup, yakni propilen glikol, polietilen glikol, gliserin/gliserol, dan sorbitol.
Cemaran ini tidak membahayakan sepanjang tidak melebihi ambang batas.
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga 5 Februari 2023 tercatat sebanyak 326 kasus gagal ginjal yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Jumlah korban yang meninggal akibat kasus ini mencapai 204 orang.
Kemudian, para korban menggugat Kemenkes dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta beberapa perusahaan farmasi maupun distributor yang tidak memenuhi ketentuan.
Mereka menganggap Kemenkes dan BPOM lalai dan menuntut biaya ganti rugi.
Baca juga: Komnas HAM soal Gagal Ginjal Akut: Pemerintah Tak Transparan dan Lambat Menanganinya
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.