HARI Keadilan Sosial Sedunia yang diperingati setiap tanggal 20 Februari, baru saja lewat bak angin lalu.
Namun saya menduga ada sidang kabinet, rapat koordinasi, webinar, atau aktivitas lain menyangkut topik penting itu. Yang dilakukan di kantor-kantor pemerintah, lembaga riset, organisasi sosial, dan partai-partai politik.
Hanya saja pembahasan serius terkait keadilan sosial tidak tampil menonjol di media massa.
Mungkinkah kesenyapan itu karena keadilan sosial sudah tidak lagi penting untuk dibicarakan karena sudah tercapai? Agaknya tidak, karena data berbicara lain.
Masalah keadilan sosial masih terjadi dalam skala global, bahkan sejak puluhan tahun lalu. Jumlah penduduk miskin dunia masih ratusan juta orang, ketimpangan pendapatan secara global antara kelompok kaya dan kelompok miskin belum berkurang, bahkan semakin lebar karena pandemi dan perang Rusia-Ukraina.
Perbudakan modern masih terjadi, khususnya dalam bentuk human trafficking. Pengungsian manusia akibat konflik juga masih terjadi di berbagai kawasan.
Bagaimana di Indonesia?
Saat ini masih ada 26,6 juta orang yang hidup dengan penghasilan di bawah garis kemiskinan Rp 513.000. Jumlah itu sekitar 9-10 persen dari total penduduk.
Selain kemiskinan absolut, kesenjangan antara kaya dan miskin juga masih tinggi. Kelompok masyarakat berpendapatan menengah-atas hanya sekitar 20 persen, sebagian kelompok berpendapatan rendah dan sebagian yang lain sangat rendah sehingga rentan terhadap gejolak ekonomi.
Kenaikan harga bahan pokok segera membuat banyak warga kesulitan mengatur keuangan rumah tangga.
Selanjutnya kesenjangan kemajuan antardaerah, antara Jawa-Luar Jawa, dan antara perkotaan dan perdesaan juga masih besar.
Ini tercermin dari perbedaan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang merupakan kombinasi dari indikator tingkat kesehatan, pendidikan dan ekonomi.
Jakarta menunjukkan angka IPM tertinggi, yaitu sebesar 81,65; jauh lebih tinggi dari Papua yang sebesar 61,39 (BPS, 2022).
Gambaran kemiskinan dan kesenjangan sosial juga dapat dilihat dari data stunting (tengkes). Saat ini penderita kurang gizi akut sejak janin hingga usia dua tahun masih 24,4 persen.
Ini berarti dari setiap empat anak usia dua tahun, ada satu anak yang memiliki kecerdasan dan pertumbuhan fisik yang lebih rendah.
Data lain menunjukkan 183,7 juta orang atau 68 persen dari total penduduk Indonesia tergolong tidak mampu memenuhi makanan bergizi seimbang (Kompas.id, 9/12/2022).
Ketidakadilan dalam masyarakat juga dirasakan oleh sebagian warga. Sekitar 18,5 persen responden dalam laporan hasil Jajak Pendapat Kompas (24/2/2023), menyatakan pernah menyaksikan adanya pengutamaan laki-laki dibandingkan perempuan dalam karier profesional, dan 6,8 persen responden menyebut mengalami sendiri ketidakadilan tersebut.
Jika dijumlah, maka seperempat warga perempuan saat ini mengalami diskriminasi di tempat kerja.
Perbedaan dalam pelayanan publik terhadap warga yang berbeda suku dan agama juga terjadi. Satu dari lima responden mendapati ada pengutamaan perlakuan petugas pelayanan publik terhadap warga yang sama suku dan agamanya.
Di dalam masyarakat, perbedaan perlakuan karena latar belakang suku, agama, dan ekonomi juga cukup menonjol. Tercatat 25 persen responden mengaku pernah melihat ketidaksetaraan seperti itu, dan 10 persen responden lain pernah mengalaminya sendiri.
Ketidakadilan ekonomi dan ketidaksetaraan perlakuan terhadap warga adalah masalah yang tidak kunjung teratasi, kendati masyarakat semakin produktif dan ekonomi semakin maju.
Maka borok-borok kebangsaan itu perlu diobati, untuk menjadikan negara ini sehat seperti yang diharapkan oleh para perintis kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk itu perlu dilakukan tindakan yang lebih afirmatif untuk mewujudkan keadilan sosial yang lebih nyata dalam berbagai aspek kehidupan.
Pemerintah perlu berada di barisan depan dalam upaya itu, karena memiliki hak mengatur keuangan negara dan didukung birokrasi yang unggul.
Paling awal dari upaya itu tentulah menyusun peta jalan membangun bangsa Indonesia yang lebih adil sekarang juga, tanpa menunggu 10 atau 25 tahun yang akan datang.
Jika Jepang memiliki konsep Society 5.0, maka Indonesia juga perlu memiliki konsep serupa yang sesuai dengan kondisi yang ada dan kekuatan bangsa yang dapat dikerahkan.
Adapun implementasi dari peta jalan itu dilaksanakan oleh berbagai kementerian dan lembaga pemerintah secara terpadu dan terukur.
Keadilan sosial bukan urusan Kementerian Sosial saja, namun kementerian lain juga memiliki kewajiban sesuai dengan bidang masing-masing.
Kementerian PUPR dalam bidang penyediaan air bersih dan rumah layak, Kementerian Tenaga Kerja dalam bidang perluasan lapangan kerja, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam bidang penguasaan lahan. Demikian seterusnya dengan kementerian/lembaga pemerintah yang lain.
Berbagai instansi itu perlu dikoordinasikan agar dampaknya signifikan. Dapur koordinasi adalah Kementerian Sosial.
Namun agar efektif dan cepat, koordinasi itu perlu dipimpin oleh pejabat yang lebih tinggi, yaitu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Selanjutnya percepatan peningkatan keadilan sosial ini perlu dievaluasi secara rutin. Untuk itu Wakil Presiden memiliki peran yang besar.
Jika ada keputusan sangat sulit yang harus diambil, maka Wakil Presiden dapat menyampaikannya langsung kepada Presiden. Presiden akan memberikan instruksi kepada menteri-menteri agar cepat bergerak.
Dengan upaya gotong royong seperti itu, maka keadilan sosial akan lebih cepat tercapai. Dan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, benar-benar bermakna dan dapat dirasakan dengan penuh syukur. Bukan narasi yang diulang-ulang diucapkan pada saat kampanye pemilu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.