Sopir Audi A6 yang diperintah Nur, istri simpanan Kompol D, memaksa masuk iring-ringan konvoi kendaraan polisi, tidak boleh hanya dikorbankan demi melidungi Nur dan keterkaitannya dengan Kompol D. Profiling penghasilan Kompol D sebagai polisi dengan keterkaitannya dengan kepemilikan mobil Audi A6 harus menjadi titik masuk untuk terjadinya potensi penyimpangan jabatan.
Masih dengan kasus tabrakan dengan indikasi adanya pembiaran yang dilakukan pensiunan AKBP E dan keanehan penetapan tersangka terhadap korban tewas mahasiswa UI, Hasya, membuka gugatan adanya relasi kekuasaan di institusi Polri. Kesungkanan “jeruk makan jeruk” dalam kasus tewasnya Hasya begitu kental terlihat.
Penetapan status tersangka kepada Hasya yang tewas karena gilasan kendaraan Mitsubishi Pajero yang dikemudikan mantan Kepala Seksi Kecelakaan Lalu Lintas Polda Metro Jaya itu mengingatkan kita pada pola-pola penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas. Saya jadi teringat dengan kecelakaan “karambol” di Jalan Tol Jagorawi, 17 November 2004 yang menewaskan lima orang dan tujuh kendaraan rusak berat.
Iring-iringan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masuk Tol Cibubur dan petugas menghentikan arus lalu lintas yang sedang ramai-ramainya dengan mendadak, menjadi biang keladi kejadian tragis tersebut (Detik.com, 17 November 2004).
Perjalanan Presiden memang tidak bisa diganggu gugat dan berhak mendapat pengawalan istimewa, justru manajemen lalu lintas yang diterapkan petugas di lapangan yang harus dipertanyakan. Bukannya menjadikan salah satu korban tewas malah ditetapkan sebagai tersangka. Kemiripan dengan kasus Hasya, kasus tersebut “closed” dan tersangkanya adalah yang menjadi korban tewas.
Relasi kekuasaan di tubuh Polri pulalah yang digugat para terdakwa kasus obstruction of justice pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Diakui salah satu terdakwa, AKBP Arif Rachman Arifin, bahwa di institusinya kental dengan sikap bawahan yang begitu sulit untuk menolak perintah atasan. Polisi berpangkat tinggi harus dijunjung tinggi dan dituruti semua permintaannya, salah atau benar, oleh bawahannya.
Polisi yang menjadi bawahan harus menyembah yang menjadi atasan, tidak jarang harus mempersembahkan upeti.
Reformasi di tubuh Polri ternyata belum berjalan tuntas dan masih menyisakan persoalan klasik. Profesionalisme masih menjadi harapan.
Kesalahan para terdakwa obstruction justice dalam kasus kematian Brigadir Yosua, termasuk di antaranya peraih Adhi Makayasa - penghargaan tertinggi sebagai lulusan Akademi Kepolisian terbaik – tidak bisa semata karena ketidakprofesionalan mereka. Relasi kekuasaan yang terpatri kokoh dan eksploitasi bawahan oleh atasan menjadi wajah lama di institusi kepolisian.
Pemanfaatan jabatan bisa terlihat dari kasus Ferdy Sambo yang begitu mendapat extra previladge dalam pengawalan personel sehingga tenaga polisi bisa dimanfaatkan untuk keperluan pribadi. Relasi kekuasaan juga menonjol dalam kasus bekas Kapolda Sumatera Barat, Teddy Minahasa, dalam kasus menukar barang bukti sabu-sabu dengan tawas.
Teddy Minahasa memerintah Kapolres Bukittinggi AKBP Doddy Prawiranegara untuk mencuri barang bukti. Si Kapolres menyuruh perantara hingga perintah dijalankan Kapolsek Kalibaru Kasranto.
Kapolsek memerintahkan bawahannya hingga sabu-sabu curian terjual ke bandar besar di Kampung Bahari, Jakarta, Alex Bonpis.
Kasus “jeruk makan jeruk” di tubuh kepolisian kembali menyeruak usai anggota Provos Polres Jakarta Timur, Brigadir Madih mengaku “dikerjain” penyidik Polda Metro Jaya yang meminta imbalan Rp 100 juta dan sebidang tanah seluas 1.000 meter persegi jika kasus penyerobotan tanah orang tua Madih ingin diselesaikan (Kompas.com, 3 Februari 2023).
Ketika kasus Madih yang berpangkat rendah menyeruak ke permukaan, institusinya langsung "gerak cepat". Bukan respon cepat mengusut kasus pelaporan Madih yang sejak tahun 2011 terbengkalai hingga sekarang, tetapi malah “membelejeti” pribadi Madih.
Madih memang pernah bermasalah tetapi kasus ketidakadilan yang membelitnya tidak boleh dinafikan. Jika sekarang Madih mengajukan pengunduran dirinya sebagai personel Polri, kasus pemalakan yang dilakukan penyidik Polda Metro Jaya tidak boleh ditutup-tutupi.