Salin Artikel

Wajah Buruk Polisi: Polisi Peras Polisi, Polisi Korup, Polisi Bunuh Polisi, dan "Simpanan" Polisi

Betapa tidak, pemberitaan di media akhir-akhir ini dipenuhi dengan kisah-kisah polisi “brengsek”. Ada perempuan “simpanan” polisi yang jemawa menyebut dirinya ikut iring-iringan konvoi kendaraan polisi karena mendapat izin dari suaminya dan kendaraanya lalu menabrak hingga tewas pengendara sepeda motor karena urusan “penting” dengan polisi “gendakkannya”.

Ada polisi yang tajir melintir hingga kepelintir asal-usul perolehan hartanya terkait kedudukannya pada jabatan “basah” yang bisa mempermainkan kasus dan keadilan.

Ada polisi, provos lagi, yang merasa “dikerjai” polisi lainnya karena urusan jual beli tanah. Agar urusan tanah beres, polisi yang menjadi penyidik meminta tarif dan upeti tanah kepada polisi yang orangtuanya memiliki tanah.

Belum lagi, kisah kegetiran anak buah bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri yang mengaku dikorbankan komandannya karena urusan pribadi, tetapi kini harus menderita dan merana. Tidak saja karir dan namanya tercoreng, keluarga polisi yang "sial" itu juga mengalami tekanan hidup.

Yang lebih ambyaar lagi, ada polisi memerintahkan polisi “menilep” barang bukti untuk dijual ke bandar narkoba di kampung narkoba. Kapolda memerintahkan kapolres, dan kapolres menyuruh kapolsek. Isi perintahnya: jual sabu-sabu untuk mendapatkan fulus.

Kembali saya teringat dengan cerita-cerita kriminal klasik, untuk membongkar kejahatan jangan fokus ke penjahat yang dicurigai. Bisa jadi kejahatan itu datang dari hamba penegak hukum itu sendiri. Polisi yang harusnya memberantas kejahatan malah terjebak ke dalam pusaran kejahatan yang tiada henti.

Belum lagi jika mengulik kisah pensiunan polisi yang menabrak mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Harsya Atalla Saputra hingga ajal menjemput menjadi gambaran kelamnya wajah kepolisian kita.

Ke dua kakek saya begitu bangga menjadi polisi hingga akhir hayat mereka, walau pangkatnya begitu rendah. Tetapi justru dari kerendahan pangkatnya saya bisa mengambil pelajaran betapa ajaran kehidupannya begitu tinggi.

Kakek saya begitu tersinggung jika ada yang mengolok “prit jigo” sebagai simbolisasi polisi brengsek yang bisa disuap dengan uang Rp 25 untuk pelanggaran ringan lalu lintas. Kala itu, di tahun 1970-an, nilai mata uang Rp 25 masih tergolong lumayan. Mungkin ke dua kakek saya akan lebih tersinggung lagi jika sekarang ini harga “prit jigo” sudah bermetamorfosis menjadi “prit miliar”.

Kedua kakek saya itu -keduanya sudah meninggal dunia- selalu berpesan, orang boleh berpangkat tinggi tetapi jika akhlaknya belangsak (buruk) maka dirinya sedang mempermalukan dirinya sendiri, keluarganya, serta institusinya. Pangkat rendah atau tinggi adalah titipan, sewaktu-waktu bisa berakhir jabatan tetapi kebaikan seorang polisi akan dikenang sepanjang hayat.

Kedua kakek saya itu, begitu mengagumi komandan tertingginya, Jenderal Hoegeng Imam Santoso.

Nur belum menjadi istri yang sah, berlagak sebagai pengadil mirip polisi-polisi korup di film-film Barat. Dia membantah terlibat tabrakan, mencari alasan pembenar masuk iring-iringan konvoi. Pengakuannya janggal soal kepemilikan mobil, dan statusnya ternyata sebagai istri siri, padahal sebagai pegawai negeri, Kompol D terikat dengan larangan poligami.

Keputusan Kapolda Metro Jaya yang langsung melakukan sidang etik terhadap Kompol D dan memutasikannya ke Pelayanan Markas (Yanma) adalah langkah tepat untuk mengurai kasus yang mencoreng institusi. Kematian Selvi yang semula dituduh menghalang-halangi iring-iringan konvoi harus mendapat kejelasan dan keadilan.

Sopir Audi A6 yang diperintah Nur, istri simpanan Kompol D, memaksa masuk iring-ringan konvoi kendaraan polisi, tidak boleh hanya dikorbankan demi melidungi Nur dan keterkaitannya dengan Kompol D. Profiling penghasilan Kompol D sebagai polisi dengan keterkaitannya dengan kepemilikan mobil Audi A6 harus menjadi titik masuk untuk terjadinya potensi penyimpangan jabatan.

Masih dengan kasus tabrakan dengan indikasi adanya pembiaran yang dilakukan pensiunan AKBP E dan keanehan penetapan tersangka terhadap korban tewas mahasiswa UI, Hasya, membuka gugatan adanya relasi kekuasaan di institusi Polri. Kesungkanan “jeruk makan jeruk” dalam kasus tewasnya Hasya begitu kental terlihat.

Penetapan status tersangka kepada Hasya yang tewas karena gilasan kendaraan Mitsubishi Pajero yang dikemudikan mantan Kepala Seksi Kecelakaan Lalu Lintas Polda Metro Jaya itu mengingatkan kita pada pola-pola penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas. Saya jadi teringat dengan kecelakaan “karambol” di Jalan Tol Jagorawi, 17 November 2004 yang menewaskan lima orang dan tujuh kendaraan rusak berat.

Iring-iringan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masuk Tol Cibubur dan petugas menghentikan arus lalu lintas yang sedang ramai-ramainya dengan mendadak, menjadi biang keladi kejadian tragis tersebut (Detik.com, 17 November 2004).

Perjalanan Presiden memang tidak bisa diganggu gugat dan berhak mendapat pengawalan istimewa, justru manajemen lalu lintas yang diterapkan petugas di lapangan yang harus dipertanyakan. Bukannya menjadikan salah satu korban tewas malah ditetapkan sebagai tersangka. Kemiripan dengan kasus Hasya, kasus tersebut “closed” dan tersangkanya adalah yang menjadi korban tewas.

Relasi kekuasaan di tubuh Polri pulalah yang digugat para terdakwa kasus obstruction of justice pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Diakui salah satu terdakwa, AKBP Arif Rachman Arifin, bahwa di institusinya kental dengan sikap bawahan yang begitu sulit untuk menolak perintah atasan. Polisi berpangkat tinggi harus dijunjung tinggi dan dituruti semua permintaannya, salah atau benar, oleh bawahannya.

Polisi yang menjadi bawahan harus menyembah yang menjadi atasan, tidak jarang harus mempersembahkan upeti.

Reformasi di tubuh Polri ternyata belum berjalan tuntas dan masih menyisakan persoalan klasik. Profesionalisme masih menjadi harapan.

Kesalahan para terdakwa obstruction justice dalam kasus kematian Brigadir Yosua, termasuk di antaranya peraih Adhi Makayasa - penghargaan tertinggi sebagai lulusan Akademi Kepolisian terbaik – tidak bisa semata karena ketidakprofesionalan mereka. Relasi kekuasaan yang terpatri kokoh dan eksploitasi bawahan oleh atasan menjadi wajah lama di institusi kepolisian.

Pemanfaatan jabatan bisa terlihat dari kasus Ferdy Sambo yang begitu mendapat extra previladge dalam pengawalan personel sehingga tenaga polisi bisa dimanfaatkan untuk keperluan pribadi. Relasi kekuasaan juga menonjol dalam kasus bekas Kapolda Sumatera Barat, Teddy Minahasa, dalam kasus menukar barang bukti sabu-sabu dengan tawas.

Teddy Minahasa memerintah Kapolres Bukittinggi AKBP Doddy Prawiranegara untuk mencuri barang bukti. Si Kapolres menyuruh perantara hingga perintah dijalankan Kapolsek Kalibaru Kasranto.

Kapolsek memerintahkan bawahannya hingga sabu-sabu curian terjual ke bandar besar di Kampung Bahari, Jakarta, Alex Bonpis.

Ketika kasus Madih yang berpangkat rendah menyeruak ke permukaan, institusinya langsung "gerak cepat". Bukan respon cepat mengusut kasus pelaporan Madih yang sejak tahun 2011 terbengkalai hingga sekarang, tetapi malah “membelejeti” pribadi Madih.

Madih memang pernah bermasalah tetapi kasus ketidakadilan yang membelitnya tidak boleh dinafikan. Jika sekarang Madih mengajukan pengunduran dirinya sebagai personel Polri, kasus pemalakan yang dilakukan penyidik Polda Metro Jaya tidak boleh ditutup-tutupi.

Cara-cara penyelesaian seperti itu justru menjadikan Madih sebagai martir keadilan walau kasus penyerobotan tanah milik orang tuanya belum terang benderang. Jika Madih yang polisi saja masih “dipalak” oleh polisi lain, bagaimana dengan warga sipil yang notabene rakyat kecil yang butuh perlindungan dan penegakkan keadilan?

Sekali lagi saya jadi ingat dengan kasus Ajun Komisaris Besar Bambang Kayun yang bisa “mempermainkan” keadilan karena jabatannya sebagai Kepala Sub Bagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum Biro Bankum Divisi Hukum Polri (Tempo.co, 16 Januari 2023). Dugaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang telah menerima gratifikasi sejumlah Rp 50 miliar dari berbagai pihak yang ingin kasusnya diuntungkan dan meringankan para sponsor.

Jika polisi saja bisa “dibeli” maka tamatlah riwayat keadilan di negeri ini. Komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membersihkan institusinya dari praktek-praktek menyimpang harus terus kita tagih.

Jenderal Listyo sudah berkomitmen “ikan busuk mulai dari kepala”. Jika pimpinannya bermasalah maka bawahannya juga akan bermasalah. Saatnya Kapolri memotong kepala ikan mengingat masih ada ikan-ikan yang busuk.

“Di dalam jeruji tahanan yang sempit saya terus merenungi betapa rapuhnya kehidupan saya sebagai manusia. Tidak pernah terbayangkan jika sebelumnya kehidupan saya yang begitu terhormat, dalam sekejap terperosok dalam nestapa dan kesulitan yang tidak terperikan. Demikianlah penyesalan kerap tiba belakangan, tertinggal oleh amarah dan murka yang mendahuluinya.” - Ferdy Sambo.

Semoga penyesalan Ferdy menjadi pembelajaran bagi personel polisi lainnya dan kita semua sebelum melangkah jauh dalam berbagai tahap kehidupan. Saatnya Ferdy, Teddy, polisi-polisi yang korup, polisi “makan" polisi, dan polisi selingkuh menggencarkan dan perbanyak sujud. Sujud itu ketika kau berbisik ke tanah, namun terdengar tinggi sampai ke langit untuk memohon ampunan-Nya.

https://nasional.kompas.com/read/2023/02/06/06000051/wajah-buruk-polisi--polisi-peras-polisi-polisi-korup-polisi-bunuh-polisi-dan

Terkini Lainnya

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke