Adigium standar Lord Acton mengatakan bahwa power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.
Korup yang dimaksud tentu bukan hanya soal "memakan" uang yang bukan haknya, tapi menggunakan kekuasaan di luar batas-batas yang seharusnya. Jadi apapun rumusnya, watak dasar kekuasaan memang seperti itu.
Demokrasi mencoba menyiasatinya dengan membagi atau memisahkan beberapa jenis kekuasaan, sehingga terdapat mekanisme "check and balances" di antara cabang-cabang kekuasaan tersebut. Kendati demikian, demokrasi tidak akan mampu mengubah "watak dari kekuasaan".
Demokrasi hanya instrumen yang bisa digunakan untuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan, dalam batas-batas yang mampu dilakukan oleh tatanan sosial politik yang ada.
Sementara di saat yang sama, cabang-cabang kekuasaan yang seharusnya mempunyai wewenang untuk membatasi itu sebenarnya juga memiliki kekuasaan.
Jadi dengan mudah bisa kita bayangkan, bagaimana jika semua cabang-cabang kekuasaan itu, atau sebagian besar cabang-cabang kekuasaan itu, bersepakat untuk saling menyelamatkan watak kekuasaan yang mereka miliki?
Yang terjadi kemudian adalah munculnya "kuncian-kuncian" kekuasaan yang membuat "watak dasar kekuasaan" dari masing-masing aktor ataupun institusi tetap bisa eksis tanpa harus mengorbankan proses demokrasi.
Yang dibutuhkan hanyalah sedikit basa-basi, prasyarat-prasyarat minimal, tekanan-tekanan negatif, yang kemudian melegitimasi penguasa-penguasa untuk bermain kayu dengan kekuasaannya. Dan watak yang demikian bukan hanya milik kekuasaan formal.
Cara-cara nakal yang dilakukan penantang kekuasaan formal, bukan tidak mungkin, adalah reaksi atas perilaku dan sikap kekuasaan formal terhadap mereka selama ini.
Dan dalam kacamata historis, Darwinisme kekekuasaan semacam itu akan terus berdinamika, bergerak secara estafet, dan terus beregenerasi.
Dalam konteks inilah, publik harus pandai-pandai mencari celah terbaik agar kehidupan dan kepentingan orang banyak tetap mendapat porsi keberpihakan yang lebih, meskipun sangat sulit.
Nah, dalam makropolitik yang demikian pula kita sebaiknya memaknai menurunnya ambisi antikorupsi pemerintah yang terjadi beberapa waktu belakangan.
Reformasi yang awalnya dianggap sebagai sistem yang jauh lebih baik dan jauh lebih demokratis, ternyata telah dikerangkeng oleh elite-elite baru.
Saling kunci mengunci dan yang sebagian di antaranya bermain mata dengan elite-elite lama di era sebelumnya hanya untuk memenuhi kepentingan segelintir oligar-oligar ekonomi politik.
Dan sampai pada satu titik, seperti revisi UU KPK, yang batasan, porsi, skala, serta komposisi revisinya, ditentukan sendiri oleh para elite, tanpa berdiskusi lebih jauh dengan aktor-aktor utama antikorupsi dan komunitas-komunitas pelopornya, maka muncullah ketersinggungan, yang akhirnya berbuah penolakan masif dari elemen pergerakan mahasiswa dan aktivis.