Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Memudarnya Upaya Konsolidasi Demokrasi dan Semangat Antikorupsi

Kompas.com - 05/02/2023, 06:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

VISI antikorupsi makin menipis di negeri ini seiring dengan melemahnya upaya politik untuk menyempurnakan proses konsolidasi demokrasi.

Bagaimana tidak, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia terus mengalami penurunan di satu sisi dan melemahnya skor indeks demokrasi Indonesia di sisi lain.

Pada 2022, skor CPI Indonesia kembali merosot menjadi 34 dari skor tahun 2021 yang mencapai skor 38. Artinya di era Presiden Jokowi, kembali ke titik nol. Dengan pengertian posisi IPK Indonesia kembali ke tahun 2014 di saat beliau terpilih untuk periode pertama.

IPK atau CPI dihitung oleh Transparency International dengan skala 0-100, yaitu 0 berarti paling korup, sedangkan 100 berarti paling bersih.

Total negara yang dihitung IPK atau CPI adalah 180 negara. Skor CPI Indonesia tahun 2022 sejajar dengan negara-negara seperti Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone.

Secara komparatif, di kawasan regional Asia Tenggara, skor CPI Indonesia tahun 2022 jauh tertinggal dengan negara seperti Malaysia dan Timor Leste hingga Vietnam. Kedua negara ASEAN itu masing-masing memperoleh skor CPI tahun 2022 di angka 47 dan 42.

Sementara itu, Indeks Demokrasi 2021 yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU), awal Februari 2022, menunjukkan, skor rata-rata Indonesia pada indeks itu mencapai 6,71. Dari skala 0-10, makin tinggi skor, makin baik kondisi demokrasi suatu negara.

Skor ini memang terbilang naik dibandingkan dengan tahun 2020, yakni 6,30, yang sekaligus menjadi raihan terendah Indonesia sejak EIU menyusun indeks ini pada 2006.

Kini, peringkat Indonesia naik dari 64 menjadi 52 dari 167 negara yang dikaji. Indonesia masuk 10 negara dengan kinerja peningkatan skor terbaik.

Namun masalahnya, Indonesia masih masuk ke dalam kategori "flawed democracy" (demokrasi cacat). Parahnya lagi, Data Freedom House Indonesia dari 2013 sampai 2022 juga terus menunjukkan skor demokrasi yang kian memburuk, yakni mengalami kemunduran dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2022.

Dalam konteks visi antikorupsi, momen saat berlangsungnya revisi UU KPK tempo hari adalah titik kulminasinya.

Secara politik, peristiwa tersebut jelas-jelas menggambarkan bahwa telah terjadi gejala post-democracy di negeri ini, yang diakibatkan oleh menguatnya tatanan ekonomi politik oligarkis.

Memang, demokrasi yang dibelenggu oleh kalangan elite telah terjadi sejak proses gelombang demokratisasi ketiga bergulir.

Menurut Larry Diamond, fenomenanya nyaris mendunia. Banyak rezim yang hanya menjadikan demokrasi sebagai prasyarat minimal untuk mendapat label demokratis, tapi pada tataran teknis, publik justru semakin terjauhkan dari proses politik, diterlantarkan dalam proses pengambilan kebijakan, beriringan dengan semakin korupnya para elite.

Inilah yang disebut oleh Colin Crouch sebagai fenomena post democracy, yang sekaligus menjadi judul bukunya tahun 2004.

Adigium standar Lord Acton mengatakan bahwa power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.

Korup yang dimaksud tentu bukan hanya soal "memakan" uang yang bukan haknya, tapi menggunakan kekuasaan di luar batas-batas yang seharusnya. Jadi apapun rumusnya, watak dasar kekuasaan memang seperti itu.

Demokrasi mencoba menyiasatinya dengan membagi atau memisahkan beberapa jenis kekuasaan, sehingga terdapat mekanisme "check and balances" di antara cabang-cabang kekuasaan tersebut. Kendati demikian, demokrasi tidak akan mampu mengubah "watak dari kekuasaan".

Demokrasi hanya instrumen yang bisa digunakan untuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan, dalam batas-batas yang mampu dilakukan oleh tatanan sosial politik yang ada.

Sementara di saat yang sama, cabang-cabang kekuasaan yang seharusnya mempunyai wewenang untuk membatasi itu sebenarnya juga memiliki kekuasaan.

Jadi dengan mudah bisa kita bayangkan, bagaimana jika semua cabang-cabang kekuasaan itu, atau sebagian besar cabang-cabang kekuasaan itu, bersepakat untuk saling menyelamatkan watak kekuasaan yang mereka miliki?

Yang terjadi kemudian adalah munculnya "kuncian-kuncian" kekuasaan yang membuat "watak dasar kekuasaan" dari masing-masing aktor ataupun institusi tetap bisa eksis tanpa harus mengorbankan proses demokrasi.

Yang dibutuhkan hanyalah sedikit basa-basi, prasyarat-prasyarat minimal, tekanan-tekanan negatif, yang kemudian melegitimasi penguasa-penguasa untuk bermain kayu dengan kekuasaannya. Dan watak yang demikian bukan hanya milik kekuasaan formal.

Cara-cara nakal yang dilakukan penantang kekuasaan formal, bukan tidak mungkin, adalah reaksi atas perilaku dan sikap kekuasaan formal terhadap mereka selama ini.

Dan dalam kacamata historis, Darwinisme kekekuasaan semacam itu akan terus berdinamika, bergerak secara estafet, dan terus beregenerasi.

Dalam konteks inilah, publik harus pandai-pandai mencari celah terbaik agar kehidupan dan kepentingan orang banyak tetap mendapat porsi keberpihakan yang lebih, meskipun sangat sulit.

Nah, dalam makropolitik yang demikian pula kita sebaiknya memaknai menurunnya ambisi antikorupsi pemerintah yang terjadi beberapa waktu belakangan.

Reformasi yang awalnya dianggap sebagai sistem yang jauh lebih baik dan jauh lebih demokratis, ternyata telah dikerangkeng oleh elite-elite baru.

Saling kunci mengunci dan yang sebagian di antaranya bermain mata dengan elite-elite lama di era sebelumnya hanya untuk memenuhi kepentingan segelintir oligar-oligar ekonomi politik.

Dan sampai pada satu titik, seperti revisi UU KPK, yang batasan, porsi, skala, serta komposisi revisinya, ditentukan sendiri oleh para elite, tanpa berdiskusi lebih jauh dengan aktor-aktor utama antikorupsi dan komunitas-komunitas pelopornya, maka muncullah ketersinggungan, yang akhirnya berbuah penolakan masif dari elemen pergerakan mahasiswa dan aktivis.

Itulah yang terjadi sejak akhir 2019 lalu, di mana revisi UU KPK disambut dengan demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa dan aktivis.

Naifnya, pemerintah menanggapinya dengan berbagai kecurigaan di satu sisi dan represifitas di sisi yang lain. Atas sikap tersebutlah, masyarakat menjadi “cuek” terhadap keadaan.

Memang boleh jadi KPK bukan institusi malaikat, tapi setidaknya ada misi suci yang dititipkan pejuang demokrasi di sana dan pada waktu itu masyarakat masih percaya dengan KPK.

Boleh jadi niat pemerintah baik, untuk menyempurnakan aturan main KPK, mengintegrasinya ke dalam sistem hukum nasional, atau apapunlah sebutannya, tapi sangat penting bagi pemerintah dan DPR untuk melakukannya dengan sangat hati-hati, agar niat untuk memperbaiki prosedur tidak menggilas misi antikorupsi yang terkandung di dalamnya.

Karena KPK dan gerakan antikorupsi sudah dianggap sebagai salah satu anak kandung reformasi, yang harus dibesarkan dan dikuatkan dengan cara-cara elegan, etis, dan demokratis.

Maka melemahkan gerakan antikorupsi atau menyisipkan virus kekuasaan politik yang mematikan ke dalam KPK akan menjadi upaya untuk mengkhianati reformasi itu sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan Agar Anggaran Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan Agar Anggaran Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Nasional
Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Nasional
Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Nasional
Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

Nasional
Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Nasional
Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Nasional
Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Nasional
BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

Nasional
Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Nasional
Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Nasional
PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

Nasional
Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com