Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Majelis Kehormatan MK Punya Waktu 30 Hari Usut Kasus Berubahnya Substansi Putusan MK

Kompas.com - 03/02/2023, 13:52 WIB
Ardito Ramadhan,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memiliki waktu 30 hari kerja untuk mengusut perubahan isi putusan MK pada perkara 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.

"Terkait tenggat, kami diberi waktu 30 hari kerja. Menurut kami, itu lebih dari cukup," kata anggota MKMK I Dewa Gede Palguna kepada Kompas.com, Jumat (3/2/2023).

Palguna menyebutkan, MKMK sudah menyusun jadwal dan rencana kerja untuk mengungkap kasus ini.

Ia mengatakan, MKMK akan bekerja dengan memanggil dan meminta keterangan pihak-pihak yang relevan serta memeriksa bukti-bukti yang ada selayaknya pemeriksaan perkara pada umumnya.

Baca juga: Substansi Putusan MK Berubah, 9 Hakim dan 2 Panitera Dilaporkan ke Polisi

Mantan hakim MK tersebut menuturkan, mulai Senin (6/2/2023) pekan depan MKMK akan melayangkan surat panggilan kepada pihak-pihak yang diperlukan untuk dimintai keterangan.

Ia pun menyatakan bahwa MKMK tidak hanya bekerja berdasarkan adanya laporan, tetapi juga karena ada temuan sehingga mereka bisa langsung mulai memproses temuan tersebut.

"Perihal sanksi, itu sudah ada dalam undang-undang dan pasti ditegaskan lagi dalam PMK (Peraturan MK). Apa dan bagaimana menerapkannya, itu tergantung pada hasil pemeriksaan MKMK," kata Palguna.

Kendati demikian, Palguna mengakui bahwa MKMK belum bisa bekerja karena masih menunggu adanya PMK yang menjadi hukum acara bagi MKMK untuk bekerja.

Baca juga: Dilaporkan ke Polisi, Perubahan Isi Putusan MK Diharapkan Dapat Terkuak

"Masalahnya kan tidak rumit. Hanya saja, kami tidak boleh bekerja sembarangan tanpa mengindahkan aturan, itu saja," kata Palguna.

Ia menjelaskan, hukum acara yang lama yakni PMK Nomor 2 Tahun 2014 sudah tidak dapat digunakan akibat perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, MKMK kini menunggu adanya PMK baru yang menurut Palguna sudah ditandatangani dan segera berlaku.

"Semalam kami mendengar berita draf PMK yang baru sudah diparaf oleh para hakim konstitusi. Dengan demikian, semoga tidak ada hambatan teknis lagi," kata Palguna.

Baca juga: Substansi Putusan MK Berubah, Pakar Sebut Versi Pembacaan Hakim di Sidang yang Berlaku

Seperti diketahui, MKMK telah sepakat membentuk MKMK untuk mengusut adanya perubahan substansi putusan MK.

MKMK ini beranggotakan terdiri dari hakim aktif, tokoh masyarakat, dan akademisi.

Hakim MK Enny Nurbaningsih menjadi anggota MKMK unsur hakim aktif, Palguna sebagai unsur tokoh masyarakat, serta anggota Dewan Etik MK Sudjito menjadi bagian dari unsur akademisi.

Adapun perubahan putusan yang dimaksud ditemukan oleh advokat Zico Leonard Diagardo Simanjuntak selaku pemohon pada perkara nomor 103.

Baca juga: Perubahan Substansi Putusan MK Diduga Disengaja, Bukan Salah Ketik

Ia mendapati adanya perbedaan antara frasa yang dibacakan hakim konstitusi Saldi Isra dalam sidang berbeda dengan risalah sidang yang diterimanya, yakni dari "dengan demikian, ..." menjadi "ke depan, ...".

"Pada saat dibacakan itu hakim konstitusi Saldi Isra ngomongnya, 'dengan demikian hakim konstitusi hanya bisa diganti jika sesuai dengan ketentuan pasal 23 UU MK'," ujar Zico, Jumat (27/1/2023) pekan lalu.

"Tapi, di putusan dan risalah sidang, risalah lho, notulen sidang itu, itu kata-katanya 'ke depan', 'ke depan hakim konstitusi hannya boleh diganti sesuai dengan pasal 23'," katanya lagi.

Secara utuh, putusan yang dibacakan Saldi Isra adalah, “Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK…”.

Baca juga: Pakar Nilai Berubahnya Substansi Putusan MK Pelanggaran, Harus Diusut

 

Sedangkan, dalam salinan putusan dan risalah persidangan tertulis: “Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK…"

Perbedaan putusan ini dinilai bakal berimplikasi terhadap proses penggantian hakim konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah yang dilakukan sepihak oleh DPR dan menciptakan kerancuan.

Sebab, jika sesuai yang disampaikan Saldi di sidang, pergantian hakim konstitusi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK sehingga penggantian Aswanto tidak boleh dilakukan.

"Cuma di salinan putusannya malah bilang ke depan, maknanya kan jadi berubah. Kalau ke depan berarti Aswanto diganti enggak apa-apa karena sudah terlanjur," ujar Zico.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com