JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari menilai terdapat unsur pelanggaran dalam berubahnya redaksi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada perkara nomor 103/PUU-XX/2022 soal uji materil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Feri mengatakan, perbedaan redaksi ini pertama-tama harus diperbaiki. Redaksi yang berubah pada dokumen risalah sidang harus direvisi, menyesuaikan dengan redaksi yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra saat memutus perkara tersebut.
"Tentu saja harus ada upaya memperbaiki redaksional dokumen putusan MK, agar sesuai dengan yang dibacakan," ujar Feri kepada Kompas.com, Minggu (29/1/2023).
Namun, perbaikan redaksional itu dinilai tidak serta-merta menghilangkan unsur pelanggarannya.
Baca juga: Perubahan Substansi Putusan MK Diduga Disengaja, Bukan Salah Ketik
Oleh karena itu, menurut Feri, pengusutan atas dugaan pelanggaran ini tetap harus dilakukan dan diproses.
"Tidak berarti perbaikan dokumen itu menghilangkan pelanggaran etik atau pelanggaran lain yang berkaitan dengan upaya perubahan redaksi putusan itu," katanya.
Feri mengatakan, perbaikan redaksi dan pengusutan dugaan pelanggaran dari berubahnya redaksi putusan MK ini harus berjalan beriringan dan dilakukan dengan maksimal.
"Hal-hal yang disampaikan hakim dalam sidang tidak boleh lagi diubah, karena pengubahan tentu saja ada upaya untuk memalsukan atau mencoba mengubah makna yang diinginkan dalma putusan hakim," ujarnya.
Baca juga: MK Diminta Usut Dugaan Perubahan Substansi Putusan Terkait Pergantian Hakim Konstitusi
Sebelumnya, perbedaan putusan dan risalah ini ditemukan advokat Zico Leonard Diagardo Simanjuntak selaku pemohon dalam perkara itu.
Ia mendapati bahwa frasa yang dibacakan hakim MK Saldi Isra dalam sidang berbeda dengan risalah sidang yang diterimanya, yakni frasa "dengan demikian..." menjadi "ke depan...".
"Pada saat dibacakan itu hakim konstitusi Saldi Isra ngomongnya, 'dengan demikian hakim konstitusi hanya bisa diganti jika sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK'," kata Zico saat dihubungi Kompas.com, Jumat (27/1/2023).
"Tapi, di putusan dan risalah sidang, risalah lho, notulen sidang itu, itu kata-katanya 'ke depan'. 'Ke depan hakim konstitusi hannya boleh diganti sesuai dengan Pasal 23'," ujarnya lagi.
Baca juga: Diduga, Ada Substansi Putusan MK yang Sengaja Diubah Setelah Dibacakan
Secara utuh, menurut Zico, yang dibacakan Saldi Isra selengkapnya adalah, “Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 Ayat (2) UU MK…”.
Sementara itu, dalam salinan putusan dan risalah persidangan tertulis: “Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 Ayat (2) UU MK…”.
Perbedaan putusan ini dinilai Zico bakal berimplikasi terhadap proses penggantian hakim konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah yang dilakukan sepihak oleh DPR dan menciptakan kerancuan.
Baca juga: Perubahan Substansi Putusan MK Diduga Disengaja, Bukan Salah Ketik
Sebab, jika sesuai yang disampaikan Saldi Isra di sidang, pergantian hakim konstitusi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK. Sehingga, penggantian Aswanto tidak boleh dilakukan.
"Cuma di salinan putusannya malah bilang ke depan, maknanya kan jadi berubah. Kalau ke depan berarti Aswanto diganti enggak apa-apa karena sudah terlanjur," ujar Zico.
Ia mengatakan, perbedaan substansi itu juga bakal berdampak terhadap gugatan yang tengah bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mempersoalkan penggantian Aswanto.
"Kalau pakai putusan, kata-katanya 'dengan demikian hakim tidak boleh diganti dengan cara di luar Pasal 23' auto-menang di PTUN, auto-cancel Pak Guntur menjadi hakim. Tapi, kalau diganti kayak begini jadi rancu," katanya.
Baca juga: MK Diminta Usut Dugaan Perubahan Substansi Putusan Terkait Pergantian Hakim Konstitusi
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.