Bivitri mengatakan, orang-orang kerap terlena karena banyaknya kebijakan yang seakan-akan bermaksud baik karena secara hukum telah legal dan berbentuk undang-undang.
Namun, dalam dalam selubung hukum itu, menurutnya, tersimpan agenda-agenda yang bisa sangat berbahaya.
Baca juga: Wacana Jokowi 3 Periode, Klaim Demokrasi dan Gejala Otoritarianisme
Ia mencontohkan Revisi Undang-Undang KPK yang menurut MK tidak salah. Produk hukum itu dianggap sah.
“Revisi undang-undangnya salah enggak? Menurut MK sih tidak salah, tidak ada yang salah sama sekali, revisinya baik-baik saja, sah dan seterusnya,” kata Bivitri.
“Tapi, bagaimana kita melihat KPK sekarang? Sangat berbeda dengan 2019,” ujarnya lagi.
Sebelumnya, TII merilis indeks persepsi korupsi (IKP) Indonesia merosot 4 poin menjadi 34 pada tahun 2022.
Selain itu, Indonesia berada di posisi ke 110, turun 14 peringkat dari tahun sebelumnya di tingkat 96.
Baca juga: Akademisi Ingatkan Lagi Ancaman Otoritarianisme Lewat Isu Masa Jabatan Presiden
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko mengatakan, dalam pengukuran CPI, pihaknya menggunakan sembilan indikator.
Dengan rincian, sebanyak poin tiga indikator, tiga stagnan, dan dua indikator mengalami kenaikan.
Adapun salah satu indikator yang menjadi sorotan adalah Political Risk Service (PRS) atau risiko politik. Indikator ini turun 13 poin dari 48 pada 2021 menjadi 35 pada 2022.
Sementara itu, penurunan dalam jumlah lebih dari 4 poin menunjukkan adanya perubahan signifikan.
“Itu turut menyumbang penurunan CPI kita dari 38 ke 34 tahun ini,” ujar Wawan.
Baca juga: Resesi Demokrasi dan Wajah Otoritarianisme Digital di Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.