Bivitri mengatakan, persoalan tersebut ia tuangkan dalam artikel bertema autocratic legalism yang terbit di Harian Kompas dengan judul "Otoritarianisme Berbungkus Hukum".
Hal ini disampaikan Bivitri saat menyoroti indikator world justice project-rule of law, salah satu indikator dalam mengukur indeks persepsi korupsi (IKP) atau corruption perceptions index (CPI) suatu negara.
Indikator ini menyoroti pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, polisi, dan militer menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi.
“Jadi segala sesuatu yang diberi landasan hukum itu seakan-akan punya legitimasi. Jadi berangkatnya dari legalisme,” kata Bivitri dalam konferensi pers Peluncuran CPI di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023).
Sebagai informasi, CPI mengukur persepsi korupsi di sektor publik.
CPI dirilis oleh Transparency International (TI) dengan mengurutkan 180 negara tingkat korupsi di dunia. Negara dengan skor 0 berarti sangat rawan korupsi sementara 100 bebas korupsi.
Menurut Bivitri, saat ini terdapat orang-orang yang sadar atau memahami hukum dan mengetahui celahnya untuk kepentingan pribadi.
Dalam persoalan autocratic legalism ini, ia menyoroti bagaimana pembatasan kekuasaan yang justru dipangkas habis.
“Sehingga disebut autocratic, itu lawan dari demokratik,” ujarnya.
Bivitri mengatakan, setidaknya terdapat empat pengawasan yang digembosi yakni, pelemahan DPR dan pelemahan masyarakat sipil.
Kemudian, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Revisi Undang-Undang KPK Tahun 2019 dan serangan terhadap independensi kekuasaan kehakiman.
Menurut Bivitri, penyerangan kekuasaan kehakiman terjadi pada akhir tahun 2022, saat seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dicopot karena keputusannya dianggap tidak menyenangkan para pembuat undang-undang.
“Empat hal yang dibunuh, empat cara untuk mengawasi kecenderungan kekuasaan yang berlebih-lebihan,” kata Bivitri.
“Repotnya adalah semuanya dilakukan atas nama hukum dalam bentuk produk hukum, sehingga seakan akan baik-baik saja,” ujarnya melanjutkan.
Bivitri mengatakan, orang-orang kerap terlena karena banyaknya kebijakan yang seakan-akan bermaksud baik karena secara hukum telah legal dan berbentuk undang-undang.
Namun, dalam dalam selubung hukum itu, menurutnya, tersimpan agenda-agenda yang bisa sangat berbahaya.
Ia mencontohkan Revisi Undang-Undang KPK yang menurut MK tidak salah. Produk hukum itu dianggap sah.
“Revisi undang-undangnya salah enggak? Menurut MK sih tidak salah, tidak ada yang salah sama sekali, revisinya baik-baik saja, sah dan seterusnya,” kata Bivitri.
“Tapi, bagaimana kita melihat KPK sekarang? Sangat berbeda dengan 2019,” ujarnya lagi.
Sebelumnya, TII merilis indeks persepsi korupsi (IKP) Indonesia merosot 4 poin menjadi 34 pada tahun 2022.
Selain itu, Indonesia berada di posisi ke 110, turun 14 peringkat dari tahun sebelumnya di tingkat 96.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko mengatakan, dalam pengukuran CPI, pihaknya menggunakan sembilan indikator.
Dengan rincian, sebanyak poin tiga indikator, tiga stagnan, dan dua indikator mengalami kenaikan.
Adapun salah satu indikator yang menjadi sorotan adalah Political Risk Service (PRS) atau risiko politik. Indikator ini turun 13 poin dari 48 pada 2021 menjadi 35 pada 2022.
Sementara itu, penurunan dalam jumlah lebih dari 4 poin menunjukkan adanya perubahan signifikan.
“Itu turut menyumbang penurunan CPI kita dari 38 ke 34 tahun ini,” ujar Wawan.
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/01/16261441/bivitri-ungkap-otoritarianisme-berbungkus-hukum-legal-tapi-bisa-berbahaya