MEMANG serba salah kalau melihat kelakuan anak jaman now, apalagi remaja yang serba labil.
Bukan cuma urusan sekolah yang amburadul dengan tawuran, ngelem, seks bebas, dan bullying.
Bahkan ada masalah yang lebih kompleks di atas kesemrawutan sosial itu yang wujudnya kejahatan tak masuk diakal, bahkan menyeramkan.
Masa gegara nonton YouTube ada penjahat dagang organ, lantas menculik anak orang, membunuhnya dan berencana menjajakan organnya. Nalarnya bisa jadi rusak dan sedang dipengaruhi oleh banyak problem sosial.
Kita tentu tak menyalahkan berbagai perubahan cepat alias disrupsi yang terjadi pascapandemi. Pendidikan mengalami kemunduran terutama dari sisi moralitas, ekonomi juga dihantam badai berkali-kali.
Memang harus diakui, ketika kita berpikir bahwa sebuah kejahatan yang terencana dan keji dilakukan oleh seorang anak atau remaja—karena persoalan batas usia secara hukum yang menjadi patokannya, maka solusi yang kemudian dipilih dan diatur secara norma hukum juga tidak bisa memuaskan rasa keadilan setiap orang. Apalagi bagi pihak keluarga yang anaknya menjadi korban.
Cara kita melihat kasus kejahatan yang dilakukan anak atau remaja sekalipun, tetaplah cara pandang awam. Artinya jika anak-anak melakukan tindak kejahatan apapun bentuknya maka harus mendapat ganjaran yang sepadan dengan perbuatan atau pelanggaran kejahatannya.
Namun hukum memiliki aturannya sendiri. Di mata hukum yang berlaku saat ini, anak-anak lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa atau person under age. Atau orang yang di bawah umur atau inferiority, dan kerap juga disebut sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali atau minderjarige under voordij.
Atas dasar itu, hukum melihatnya sebagai orang yang harus dilindungi hak-haknya meskipun telah melakukan kejahatan besar. Inilah yang kemudian dinarasikan oleh awam sebagai “adanya ketidakadilan hukum”, dalam memproses kasus kejahatan yang terjadi.
Maka kita tak bisa berbuat banyak ketika perlakuan tindak kejahatan anak kemudian didasari Undang-undang Nomor 11 tahun 2012, seperti tersebut dalam Pasal 1.
Bahwa seluruh proses penyelesaian masalah kejahatan anak atau anak yang berhadapan dengan hukum urutannya mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap pembimbingan setelah menjalani pidana difasilitasi oleh aturan tersebut.
Atas dasar si pelaku masih kategori kanak-kanak atau remaja—dalam hal ini tafsir tentang keduanya juga masih menjadi polemik, penyelesaian hukum yang kemudian dipilih adalah Diversi, mengalihkan penyelesaian masalah kejahatan anak dari proses peradilan pidana menjadi proses di luar peradilan pidana.
Jadi dibedakan cara penangannya tak selazim seperti perlakuan pelaku kejahatan yang dewasa. Namun dengan beberapa catatan; diversi bisa dilakukan bila ancaman pidananya di bawah 7 tahun; dan anak-anak pelaku kejahatan bukan pelaku ulangan tindak pidana. Artinya anak-anak pelaku kejahatan bukan residivis alias penjahat kambuhan.
Diversi memandang anak memiliki karakteristik khusus jika dibandingkan dengan orang dewasa. Karena anak-anak adalah kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, sehingga penting diprioritaskan.
Apalagi dalam urusan pidana, pembatasan umur anak menjadi identik dengan batas usia pertanggungjawaban pidana seorang Anak yang dapat dijadikan alasan untuk diajukan ke depan persidangan peradilan pidana Anak.
Batasan umurnya bahkan telah diatur dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) UU SPPA bahwa; Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun akan tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun sebagai terduga pelaku tindak pidana.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.