Padahal, ada istilah yang dikenal sebagai juvenile delequency, biasanya secara mudah diterjemahkan sebagai “kenakalan remaja”. Tapi sebenarnya terminologi “remaja” sepertinya tidak dipakai dalam hukum positif kita.
Konsep juvenile delequency kemudian dialihbahasakan menjadi “kenakalan anak”, lebih rendah dari kuantitas umur dan kualitas mentalnya.
Inilah yang kemudian menjadi pemicu polemik. Apalagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 memakai istilah “anak yang berkonflik dengan hukum”, yaitu anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Jadi, umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun inilah yang sebenarnya masuk dalam kategori remaja (juvenile), bukan lagi kanak-kanak.
Jika dilihat dari rentang umur tersebut, maka Anak yang berkonflik dengan hukum tersebut sudah bisa melakukan tindak pidana umum serius, seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penipuan.
Nah, apakah terhadap anak atau remaja dengan jenis kejahatan, pemerkosaan dan pembunuhan layak mendapakan perlakuan khusus seperti diversi? Dan berhak mendapat sanksi yang lebih ringan?
Bagaimana jika pelakunya berusia di bawah 18 tahun, namun telah menikah? Bukankah statusnya juga telah berubah bukan lagi berpredikat sebagai anak-anak.
Karena untuk berstatus kawin, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan saja telah menetapkan batas usia terendah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, meskipun bisa lebih rendah, karena masyarakat kita seringkali juga melanggarnya.
Asumsi dari dikawinkannya anak berusia di bawah 18 tahun itu, karena mereka dianggap sudah mampu melakukan tugas dan peran sebagaimana layaknya orang dewasa. Salah satunya adalah bereproduksi.
Oleh sebab itu, tindak pidana yang tergolong serius dilakukan oleh anak atau remaja dalam –konteks hukum seperti pemerkosaan dan pembunuhan berencana, seharusnya tidak layak diberikan diversi.
Perbuatan-perbuatan demikian bukan lagi disebut “kenakalan anak”. Bentuk kenakalan anak yang masih bisa ditoleransi oleh masyarakat, bukan jenis kejahatan yang meresahkan seperti pemerkosaan dan pembunuhan berencana.
Dengan melihat semakin banyaknya jenis kejahatan yang serius dan meresahkan yang dilakukan oleh anak di bawah 18 tahun, tampaknya praktik sistem peradilan pidana anak perlu ditinjau kembali.
Tidak hanya berdasar pada ukuran semata-mata batasan usia. Terutama berkaitan dengan keputusan untuk memberikan perlakuan khusus seperti diversi, keringanan, dan pengurangan hukuman.
Kita bisa memulai untuk mendiskusikan kemungkinannya dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, sebagai acuannya.
Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan, pertama, jika ancaman pidananya penjara di bawah 7 tahun, dan kedua, bukan merupakan pengulangan tindak pidana.