WACANA perdebatan tentang “Trah Soekarno” tiba-tiba mencuat pascaterbitnya tulisan Guntur Soekarnoputra yang berjudul “Meluruskan Salah Kaprah di Sekitar Bung Karno” (Kompas, 23/1/2023).
Terkait dengan tarik ulur legitimasi trah Soekarno, hasil pelacakan berbagai sumber referensi pemikiran Soekarno, memang Proklamator RI itu hampir tidak pernah mempermasalahkan “trah” atau keturunan dalam konteks biologis.
Bahkan pada saat Soekarno menjadi Presiden RI, dia melepaskan bendera partainya untuk menyatukan Bangsa Indonesia dalam ajaran Pancasila dan Persatuan Indonesia.
Soekarno tidak mewariskan harta. Bahkan, rumah saja ia tak punya. Satu-satunya yang diwariskan oleh Soekarno sebagai sebuah legacy dan kebesarannya adalah nilai-nilai dan prinsip ajaran kebangsaan, bukan harta benda atau garis keturunan nama besar dirinya.
Sejak meninggalnya Soekarno, ajaran Soekarnoisme ini seolah “gentayangan”. Bagaikan roh, pemikirannya hadir dan berkembang di tengah masyarakat, tapi tidak memiliki badan dan kerangka yang jelas.
Bahkan sejak Partai Nasional Indonesia (PNI) melebur ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1973, ajaran Soekarno seolah tidak eksis dan terasa tidak mewarnai dinamika akibat kerasnya tekanan rezim Orde Baru.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, tidak ada tokoh lain yang membangkitkan kembali ajaran Soekarno dan memberinya wadah, badan atau kerangka untuk dilembagakan, selain Megawati Soekarnoputri.
Megawati dengan segala kelebihan dan keterbatasannya mampu mewujudkan dan memberikan badan dan kerangka kepada ajaran Soekarnoisme, sehingga menjadi gerak langkah politik yang riil dan konkret dalam tubuh PDIP hingga sekarang ini.
Untuk membuktikan komitmen dan konsistensi Megawati pada ajaran Soekarnoisme, bahkan nyawanya pun ia pertaruhkan ketika mendapatkan rongrongan, ancaman dan hantaman dari rezim penguasa Orde Baru.
Jadi, jika masih ada yang mempersoalkan bahwa trah Soekarno hanya bisa diklaim oleh garis keturunan biologis dari jalur anak laki-laki, barangkali klaim itu benar secara budaya, namun kurang tepat jika ditilik dari realitas sejarah dan sosial-politik.
Klaim itu menjadi tidak fair karena Soekarno sendiri tidak anti-gender. Soekarno tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki atau perempuan.
Jika ia sanggup dan mampu untuk mengimplementasikan ajaran dan nilai-nilai kebangsaan yang Soekarno ajarkan, maka dialah pemimpin sejati yang melanjutkan “trah Soekarnoisme”.
Sementara itu, Megawati memiliki tiga anak, yakni M. Rizki Pratama, M. Prananda Prabowo, dan Puan Maharani.
Tatam, sapaan akrab M. Rizki Pratama, dan Nanan, sapaan akrab Prananda Prabowo, tampak lebih banyak memainkan peran di belakang layar. Keduanya cenderung membatasi diri sehingga terasa kurang tampil di permukaan.
Satu-satunya anak Megawati yang paling konsisten berada di garda depan mengawal perjuangan dan menjaga ajarah Soekarnoisme, dengan segala dinamika dan tantangan yang dihadapi, adalah Puan Maharani.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.