Atas dasar pikiran itulah, maka Magna Charta dibuat sebagai pegangan publik untuk mengontrol rajanya agar tidak bertindak sewenang-wenang.
Begitupun dengan pemilu kita, di mana masyarakat melakukan kontrak politik dengan pemimpinnya melalui media kertas dalam bilik suara.
Artinya secara fakta, masyarakat meneken “kontrak” dengan politisi yang dipilihnya. Seharusnya ada timbal balik adil diberikan kepada masyarakat melalui kebijakan-kebijakan.
Kebijakan tersebut seharusnya menguntungkan masyarakat, bukan menyamankan kepentingan politisi dan pengusaha.
Kejadian hari ini sepertinya lebih menguntungkan pengusaha dan rakyat hanyalah penonton setelah pemilu diselenggarakan.
Di satu sisi kata-kata perlu untuk menyampaikan gagasan dan ide. Secara instan memang kata-kata adalah media paling sederhana dan murah dalam memobilisasi opini publik.
Bagi politisi kemampuan berkata-kata menjadi keharusan. Politisi harus mampu menampilkan perbendeharaan kata-kata dengan berbagai gaya.
Selain itu justru dengan kata-kata yang kuat seorang politisi mampu menjawab berbagai pertanyaan dan kritik spontan ketika sedang dihadapinya. Namun apakah kualitas demokrasi kita sebatas cara politisi berkata-kata dengan gaya? Tentu tidak.
Eksistensi politisi harus sampai pada wadah bagi masyarakat untuk menuju kesejahteraan. Kesejahteraan itu harus sampai di teras rumah masyarakat dan diupayakan tidak dipajaki di tengah jalan.
Sehingga politisi memilki kepentingan utama, yaitu mensejahterakan masyarakat melalui hak konstitusinya sebagai eksekutif atau legislatif. Tidak hanya sekadar tampil bergaya dengan kata-kata.
Politik Indonesia juga tidak terlepas dari dinamika komunikasi politik. Baik itu antara parpol atau politisi dengan masyarakat.
Komunikasi politik serasa cukup penting dalam percaturan politik Nasional. Kita ingat bahwa ketika Megawati Soekarnoputri belum menyampaikan siapa calon presiden yang diusung PDI-P, publik di buat penasaran.
Atau ketika Nasdem mengusung Anis Baswedan dan jadi calon Presiden, publik juga dibuat kaget. Itu artinya bahwa konteks politik Nasional tidak terlepas dari komunikasi politik.
Komunikasi politik yang dibangun oleh elite politik dengan sendirinya perlahan-lahan akan membentuk opini publik. Opini ini akan menjadi basis cara berpikir publik untuk taat kepada parpol atau tokoh yang didukungnya.
Sehingga bermuara kepada fanatisme dan loyalitas tinggi kepada dukungannya. Pada saat itu, parpol mendapat nilai positif karena basis massanya semakin bertambah dan solid.