Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei Litbang "Kompas": 70 Persen Publik Khawatir Kena Dampak Buruk UU Cipta Kerja

Kompas.com - 16/01/2023, 19:27 WIB
Fika Nurul Ulya,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jajak pendapat Litbang Kompas mendapati 70 persen responden khawatir akan terkena dampak buruk penerbitan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Rinciannya, sebanyak 54,4 persen mengaku khawatir, dan 15,5 persen sangat khawatir. Sedangkan yang mengaku tidak khawatir sebanyak 25,6 persen, dan yang sangat tidak khawatir sebesar 1,9 persen.

"Jajak pendapat menangkap, hampir 70 persen responden mengaku khawatir dengan dampak dari aturan ini. Bahkan, sebagian di antaranya mengaku sangat mengkhawatirkannya," kata peneliti Litbang Kompas, Rangga Eka Sakti dikutip dari Harian Kompas, Senin (16/1/2023).

Terbaru, pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai jaminan kepastian hukum setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Survei Litbang Kompas: 25,3 Persen Responden Anggap UU Cipta Kerja Cuma Untungkan Pebisnis

Namun, sebagian besar responden atau 25,3 persen menganggap beleid tersebut hanya menguntungkan para pelaku usaha dan pebisnis.

Tak hanya itu, 18,1 persen publik menilai aturan hanya menguntungkan pemerintah.

Litbang Kompas/DDA/RGA Survei Litbang "Kompas": 70 Persen Masyarakat Khawatir Dampak Buruk UU Cipta Kerja

Kemudian, 16,6 persen menilai produk hukum itu hanya menguntungkan pekerja atau karyawan swasta, 16,6 persen menguntungkan investor/pemilik modal, 12,4 persen menguntungkan buruh, dan 2,5 persen menguntungkan petani dan nelayan.

"Tidak banyak dari responden yang merasa Perppu Cipta Kerja ini menguntungkan para pekerja. Hanya sekitar 16,6 persen responden yang merasa kehadiran Perppu dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan pekerja," ujar Rangga.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: 60,5 Persen Publik Menilai UU Cipta Kerja Tak Wakili Aspirasi Masyarakat

Penilaian yang semata-mata menguntungkan pelaku usaha, pemerintah, dan pemilik modal ini yang menjadi alasan penolakan paling besar terhadap Perppu tersebut.

Berdasarkan survei yang sama, 48,2 persen responden menolak aturan dengan alasan tidak berpihak pada karyawan dan pekerja. Lalu, 18,9 persen menolak karena membuat pelaku usaha atau perusahaan makin mudah melakukan PHK.

Sebanyak 16,6 persen lainnya menganggap produk hukum anyar itu digunakan untuk menekan karyawan, 10,8 persen menolak karena pernah mengalami dampak dari aturan tersebut, dan 5,5 persen menolak karena tidak ada batas maksimum dari karyawan kontrak.

"Beberapa hal seperti soal ketidakpastian hukum terkait sistem kerja kontrak dan praktek outsourcing masih tak tersentuh Perppu tersebut," kata Rangga.

Kendati demikian, kata Rangga, masyarakat sebetulnya tidak sepenuhnya antipati dengan kehadiran UU maupun Perppu Cipta Kerja. Hal ini terlihat dengan sikap dari separuh lebih responden yang masih menaruh harapan bahwa produk hukum itu bisa membawa kesejahteraan umum.

"Keyakinan publik ini semestinya menjadi modal sosial bagi pemerintah untuk mengimplementasikan kehadiran Perppu dengan sebaik-baiknya. Modal sosial ini perlu diimbangi dengan pembuktian bahwa hadirnya Perppu Cipta Kerja benar-benar akan membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia," ujar Rangga.

Baca juga: Litbang Kompas: Mayoritas Publik Menilai Perppu Cipta Kerja Tak Mendesak

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com