JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai masih terdapat persoalan saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui menyesalkan 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Julius mencium ada gelagat pemerintah enggan mengakui sejumlah peristiwa dugaan pelanggaran HAM lain, seperti Peristiwa 27 Juli 1997 (Kudatuli) atau invasi dan operasi militer di Timor-Timur (kini Republik Demokratik Timor Leste) pada 1975-1999, dengan maksud supaya penanganan melalui jalur non-yudisial tidak terlampau melebar.
"Dari kemarin ini kan (Menkopolhukam) Mahfud juga alasannya 'Komnas HAM tidak menyatakan, kalau kami yang menyatakan tidak bisa'. Pembentukan tim PPHAM itu bukan dari Komnas HAM. Bukan merupakan tindak lanjut dari hasil investigasi Komnas HAM," kata Julius saat dihubungi Kompas.com, Kamis (12/1/2023).
Julius juga menyoroti penelusuran korban yang dilakukan melalui Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) tidak menyeluruh dan terkesan dibatasi.
Baca juga: Pengakuan Jokowi Terkait Pelanggaran HAM Berat Dinilai Sekadar Aksesori Politik
"Tim PPHAM juga bilang bahwa menggali informasi dari korban. Berarti kan korbannya sudah ditargetin, sudah dipilih korban yang mana saja supaya enggak melebar, meluas dan segala macamnya," ucap Julius.
"Jadi kepura-puraan ini semakin terlihat jelas gitu lho. Kebohongan ini semakin terlihat jelas," lanjut Julius.
Julius juga mengatakan, kelompok masyarakat sipil dan para pegiat HAM menemukan fakta pemerintah tidak melibatkan korban dalam penyusunan atau pembentukan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 tahun 2022 terkait Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM).
"Enggak ada perspektif korban sama sekali. Perspektifnya perspektif penguasa. Ujungnya kami sudah baca nantinya akan ada peradilan-peradilan fiktif yang tujuannya untuk mencuci dosa," ujar Julius.
"Nanti tinggal bilang, 'sudah diadili tuh tapi memang buktinya tidak cukup saja. Memang konstruksinya tidak kuat saja.' Padahal memang mereka yang menyusun buktinya. Mereka juga yang melemahkan konstruksinya," lanjut Julius.
Padahal menurut Julius, pemerintah sebenarnya bisa dan berwenang melakukan penyelidikan ulang.
Bahkan menurut Julius, kelompok masyarakat sipil juga mempunya bukti-bukti dan berbagai petunjuk terkait sejumlah kasus pelanggaran HAM berat.
"Kita sudah pahamlah ini cuma tipu-tipu. Jauh dari keadilan bagi korban. Jauh dari pengungkapan kebenaran, apalagi ajudikasi atau pengadilan bagi pelaku. Apalagi reformasi institusi pelaku," papar Julius.
Baca juga: Keraguan Aktivis akan Janji Pemerintah Selesaikan Kasus HAM Berat secara Hukum
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan memang terjadi dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia pada masa lalu.
"Dengan pikiran jernih dan hati yang tulis sebagai Kepala Negara saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di masa lalu," kata Jokowi setelah membaca laporan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM). (PPHAM) di Istana Kepresidenan pada Rabu (11/1/2023).
Presiden pun mengaku sangat menyesali terjadinya pelanggaran HAM berat pada sejumlah peristiwa. Kepala Negara lalu menyebutkan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, sebagai berikut:
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.