Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyesalan Jokowi di 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Dinilai Gimik dan Pengalihan Isu Perppu Cipta Kerja

Kompas.com - 13/01/2023, 09:39 WIB
Rahel Narda Chaterine,
Novianti Setuningsih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Mannusia Indonesia (PBHI) menilai pernyesalan dan permintaan maaf Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya gimik dan kebohongan belaka.

Ketua PBHI Julius Ibrani menilai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17/2022, Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM), serta pidato permintaan maaf Presiden Jokowi jelas memiliki tujuan lain atau bukan untuk kepentingan korban secara utuh.

“’Bunga-bunga’ jelas hanyalah kebohongan belaka dan bersifat gimik. Lantaran Presiden Jokowi dalam kondisi kritis akibat Perppu Cipta Kerja yang mengkhianati Pancasila dan UUD 45, serta melanggar hak asasi manusia,” kata Julius dalam keterangannya yang diterima Kompas.com, Kamis (12/1/2023).

Menurut Julius, Presiden Jokowi menjadi bagian dari pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu dengan tindakan berupa omission (kelalaian) akibat berkuasa tetapi membiarkan semua perristiwa tersebut.

Baca juga: Keraguan Aktivis Akan Janji Pemerintah Selesaikan Kasus HAM Berat secara Hukum

PBHI juga berpandangan bahwa pernyataan Presiden Jokowi yang sebatas mengakui dan menyesali tidaklah menjawab apapun.

“Yang artinya, Presiden Jokowi justru menjadi bagian dari pelanggengan pelanggaran HAM berat yang secara otomatis akan menyebabkan pengulangan peristiwa dan impunitas terhadap pelaku,” ujar Julius.

Julius mengatakan, keadilan bagi korban hanya bisa terpenuhi jika ada pengungkapan kebenaran, ajudikasi terhadap pelaku, reformasi institusional, dan pemenuhan hak-hak korban.

Hal itu, menurutnya, dapat terjawab secara sederhana dengan pertanyaan apa peristiwa yang terjadi, siapa pelakunya, dari institusi apa, kapan akan diadili, dan kapan akan direformasi.

Baca juga: Pemerintah Segera Bentuk Satgas untuk Kawal Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat

Selain itu, PBHI menilai pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mafud MD yang menyatakan tetap ada proses yudisial di pengadilan HAM tidak dapat dipercaya.

“Karena pengadilan HAM berat untuk tragedi Paniai jelas jadi tolok ukurnya: peradilan fiktif untuk cuci dosa pelaku dan institusi,” kata Julius.

Oleh karenanya, PBHI menolak Keppres No. 17/2022 dan Tim PPHAM, serta pidato Presiden Jokowi.

Julius juga mendesak adanya pertanggungjawaban negara secara holistik demi keadilan bagi korban.

“Presiden Jokowi harus segera mencabut No. 17/2022 dan membubarkan Tim PPHAM, kembali pada investigasi pelanggaran HAM berat melalui Komnas HAM dan memastikan Jaksa Agung segera menuntut pelaku ke hadapan pengadilan HAM,” ujar Julius.

Baca juga: Amnesty International: Hukum Pelaku Pelanggaran HAM Berat Satu-satunya Cara Mencegah Peristiwa Terulang

usai Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers usai menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu.Dok. Sekretariat Presiden usai Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers usai menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu.

Diberitakan sebelumnya, usai menerima laporan dari Tim PPHAM di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023), Presiden Jokowi mengatakan, dirinya sangat menyesalkan terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat.

Adapun ke-12 periswtiwa pelanggaran HAM berat itu adalah peristiwa 1965-1966; peristiwa Penembakan Misterius (petrus) 1982-1985; peristiwa Talangsari Lampung 1989; peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; dan peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com