JAKARTA, KOMPAS.com - Pengakuan dan penyesalan Presiden Joko Widodo terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu dinilai sekadar aksesori politik semata.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani menyebut pengakuan dan penyesalan tersebut merupakan bagian dari aksesori politik kepemimpinan Jokowi dalam memenuhi janji kampanyenya di pemilihan presiden (Pilpres) 2014 yang ketika itu hendak mencalonkan diri sebagai presiden.
"Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden, tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," Ismail dalam siaran pers, Kamis (12/1/2023).
Baca juga: Jokowi: Saya Sangat Menyesalkan Pelanggaran HAM Berat di 12 Peristiwa
Setara Institute juga menyoroti perihal laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).
Menurut Ismail, tim yang hanya bekerja tidak lebih dari 5 bulan mustahil bisa merekomendasikan terobosan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara berkeadilan.
Apalagi, tim tersebut juga dianggap mempunyai komposisi anggota yang kontroversial dan metode kerja yang tidak jelas.
Baca juga: Harapan Korban Tragedi Simpang KAA Usai Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Menurutnya, tin ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan Jokowi untuk membagikan kompensasi kepada para korban tanpa proses rehabilitasi yang terbuka.
"Dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu," tegas dia.
Pihaknya menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa saja aktor di balik 12 kasus HAM berat yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM.
Karena itu, Ismail menilai, tim ini tidak mencari siapa yang salah, namun lebih kepada menyantuni dan menangani korban untuk dilakukan pemulihan, sebagaimana pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
"Fakta ini adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth) sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non-yudisial," terang dia.
Baca juga: Kesaksian Kamerawan Perekam Tragedi KKA, Pelanggaran HAM yang Diakui Jokowi
Sebelumnya, Jokowi sangat menyesalkan terjadinya 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Tanah Air.
Bahkan, Jokowi tak menampik bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat benar-benar pernah terjadi di Indonesia.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa, dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat," ujar Jokowi usai menerima laporan dari Tim PPHAM di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Selanjutnya, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.