Budaya politik seperti itu lebih memungkinkan tumbuh dalam sistem pemilu yang terbuka, bukan tertutup.
Pendewasan perilaku dan budaya politik masyarakat dan elite akan lebih mudah dibentuk dalam sistem kompetisi yang terbuka, fair, jujur dan adil.
Pemimpin dan massa “dipaksa” untuk saling berkomunikasi, berinteraksi dan bahkan saling kerjasama untuk tujuan-tujuan kesejahteraan bersama. Elite yang menghindar dari proses ini dengan cepat akan ditinggalkan para pengikutnya.
Dalam konteks ini, kita sedang membayangkan suatu model perilaku politik masyarakat dan elite yang saling berkesesuaian untuk mempercepat kemajuan di berbagai hal yang dibutuhkan masyarakat.
Keempat, kesetaraan peluang dan kesempatan untuk mobilitas vertikal individu. Sekarang ini zaman terbuka dan era kompetisi sebagai ciri utama peradaban modern.
Setiap individu manusia memiliki hak dasar untuk tumbuh, berkarir dan mengaktulisasikan diri dalam berbagai bidang yang disukai dan diminati, tanpa paksaan.
Peluang di dunia politik semestinya menjadi karir yang terbuka juga untuk setiap warga negara.
Tidak boleh dibatasi oleh eksklusivitas, restriksi administratif, gender, suku, agama dan kedaerahan. Partai politik yang tidak segera menyesuaikan dengan tren ini lambat laun akan ditinggalkan oleh orang-orang terbaik.
Kesetaraan semacam itu akan menemukan tempatnya dalam sistem proporsional terbuka, bukan tertutup.
Ini bukan soal mengabaikan perlunya keistimewaan bagi pengurus dan kader parpol untuk menjadi anggota legislatif.
Titik tekan utama adalah pegaturan internal partai yang lebih adaptif dalam menerima individu terbaik untuk berkarir dalam jabatan-jabatan politik dan pemerintahan, dan pada sisi lain peluang pengurus dan kader tetap kuat.
Pasti ada solusi dalam mekanisme internal partai masing-masing. Tidak perlu dipertentangkan.
Kelima, aspek konstitusi. Apakah konstitusi kita secara rigid dan eksplisit menganut sistem pemilu tertentu?
Sistem pemilu adalah variable yang dinamis mengikuti perkembangan yang terjadi di lapangan.
Karena itu perubahan sistem pemilu semestinya menjadi ranah pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR.