Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Alasan Muhammadiyah Dukung Sistem Proporsional Terbuka Dikaji Ulang

Kompas.com - 03/01/2023, 21:00 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mukti, menyebut bahwa pihaknya mendukung pemilihan legislatif dengan sistem proporsional terbuka dikaji ulang.

Sebagai informasi, dalam sistem proporsional terbuka yang diterapkan di Indonesia sejak 2009, pemilih dapat mencoblos partai politik atau nama calon anggota legislatif yang diharapkan duduk di parlemen.

Sementara itu, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik. Partai yang kelak berwenang menentukan anggota dewan yang berhak duduk di parlemen mewakili suatu daerah pemilihan.

Baca juga: 8 Fraksi DPR Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Kecuali PDI-P

Mukti menyinggung soal perlunya partai politik mempersiapkan kadernya dengan sungguh-sungguh agar bisa menjadi anggota dewan yang berkualitas, di balik usul mengkaji ulang sistem proporsional tertutup.

"Karena peran lembaga legislatif itu secara konstitusional itu sangat besar, sehingga kualitas mereka tentu akan menentukan tidak hanya kualitas produk legislasi, tapi juga berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara," ujar Mukti setelah menerima audiensi jajaran komisioner KPU RI di kantor PP Muhammadiyah, Selasa (3/1/2023).

Sistem proporsional terbuka memang memungkinkan partai politik untuk lebih mudah mendapatkan kursi di parlemen sebagai efek ekor jas dari popularitas caleg mereka di lapangan.

Baca juga: Muhammadiyah Dukung Pemilu Sistem Proporsional Tertutup atau Terbuka Terbatas

Hal ini dinilai menjadi salah satu sebab timbulnya fenomena pemilihan caleg berdasarkan popularitas, bukan kapabilitas.

Persoalan ini kemudian berkelindan dengan terbukanya celah politik uang untuk mendongkrak raihan suara di lapangan.

"Muncul siapa yang punya kekuatan kapital yang paling kuat itu juga menjadi masalah yang menimbulkan money politic. Lalu, kadang-kadang pemilih ini menentukkan pilihan bukan berdasarkan kualitas, tapi berdasarkan popularitas," ungkap Mukti.

Di samping itu, Mukti juga menganggap bahwa sistem proporsional terbuka memungkinkan terjadinya pembelahan politik, karena mendorong kompetisi antarcaleg.

"Harapan kami dengan perubahan sistem itu, bisa dikurangi kanibalisme politik di mana sesama calon itu saling menjegal satu sama lain," tambahnya.


Dua opsi

Mukti mengatakan, usulan mengkaji ulang sistem proporsional tertutup telah dikemukakan Muhammadiyah pada 2014.

Muhammadiyah mengemukakan dua opsi untuk mengganti sistem proporsional terbuka, yakni dengan sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka terbatas.

Dalam sistem proporsional terbuka terbatas ini, menurutnya, hal pertama yang perlu dihitung adalah BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) atau harga kursi.

BPP dihitung dengan cara membagi jumlah suara sah di suatu dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut.

Baca juga: AHY Curiga Wacana Sistem Proporsional Tertutup untuk Kembalikan Pilpres Tak Langsung

Pemilih, kata Mukti, dapat mencoblos sosok caleg atau mencoblos parpol.

Apabila perolehan suara seorang caleg melampaui BPP, maka otomatis dia berhak atas 1 kursi parlemen.

Namun, jika tidak ada satu pun caleg suatu parpol yang melampaui BPP, sedangkan suara keseluruhan parpol melampaui BPP, maka representasi parpol yang berhak duduk di parlemen dari dapil tersebut jatuh sesuai nomor urut.

"Dengan sistem proporsional terbuka terbatas itu, suara pemilih masih terakomodasi, dan masih ada peluang bagi calon legislatif untuk dapat memiliki kesempatan terpilih tidak di nomor urut yang teratas," kata Mukti.

Baca juga: Tolak Pemilu dengan Proporsional Tertutup, AHY: Menafikkan Kerja Keras Kader Partai

Mukti menegaskan, pengkajian ulang atas sistem proporsional terbuka tidak berarti kemunduran demokrasi.

"Di banyak negara banyak. Kita lihat sistem demokrasi berbagai negara itu juga sangat beragam, jadi demokrasi itu ukurannya tidak selalu diukur dari sistem yang bergantung pada populisme politik atau popular vote," kata dia.

"Kemunduran demokrasi tidak selalu diukur dari, misalnya, siapa memperoleh suara berapa, suara masyarakat hilang atau tidak. Karena dari kenyataanya, mohon maaf ya, dengan sistem proporsional terbuka seperti sekarang ini kan juga banyak suara rakyat yang hilang. Misalnya, partai yang tidak lolos ke Senayan itu kan suaranya hilang karena dia tidak ada wakil di situ, padahal rakyat memilih partai itu," ungkap Mukti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com