JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mukti, menyebut bahwa pihaknya mendukung pemilihan legislatif dengan sistem proporsional tertutup atau terbuka terbatas.
Sebagai informasi, dalam sistem proporsional terbuka yang diterapkan di Indonesia sejak 2004, pemilih dapat mencoblos partai politik atau nama calon anggota legislatif yang diharapkan duduk di parlemen.
Sementara itu, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik. Partai yang kelak berwenang menentukan anggota dewan yang berhak duduk di parlemen mewakili suatu daerah pemilihan.
Baca juga: Datangi Muhammadiyah, Ketua KPU: Bukan soal Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
"Usulan sesuai Muktamar ada 2, yang pertama kita mengusulkan agar sistem proporsional terbuka sekarang ini diganti dengan sistem tertutup. Jadi hanya memilih gambar parpol. Nomor urut calegnya sudah ditetapkan oleh parpol. Usulan kedua adalah terbuka terbatas," ungkap Mukti setelah menerima audiensi jajaran komisioner KPU RI di kantor PP Muhammadiyah, Selasa (3/1/2023).
Mukti mengatakan, usulan mengkaji ulang sistem proporsional tertutup telah dikemukakan Muhammadiyah pada 2014.
Dalam sistem proporsional terbuka terbatas ini, menurutnya, hal pertama yang perlu dihitung adalah BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) atau harga kursi sebagai ambang batas.
Baca juga: Muhammadiyah Minta Elite Politik Tak Bikin Bangsa Terbelah Lagi pada 2024
BPP dihitung dengan cara membagi jumlah suara sah di suatu dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut.
Pemilih, kata Mukti, dapat mencoblos sosok caleg atau mencoblos parpol.
Apabila perolehan suara seorang caleg melampaui BPP, maka otomatis dia berhak atas 1 kursi parlemen.
Namun, jika tidak ada satu pun caleg suatu parpol yang melampaui BPP, sedangkan suara keseluruhan parpol melampaui BPP, maka representasi parpol yang berhak duduk di parlemen dari dapil tersebut jatuh sesuai nomor urut.
"Dengan sistem proporsional terbuka terbatas itu, suara pemilih masih terakomodasi, dan masih ada peluang bagi calon legislatif untuk dapat memiliki kesempatan terpilih tidak di nomor urut yang teratas," jelas Mukti.
Baca juga: Terima Kunjungan KPU, Muhammadiyah: Artinya Pemilu Jadi, Tidak Ditunda
Mukti menegaskan, pengkajian ulang atas sistem proporsional terbuka tidak berarti kemunduran demokrasi.
"Di banyak negara banyak. Kita lihat sistem demokrasi berbagai negara itu juga sangat beragam, jadi demokrasi itu ukurannya tidak selalu diukur dari sistem yang bergantung pada populisme politik atau popular vote," kata dia.
"Kemunduran demokrasi tidak selalu diukur dari, misalnya, siapa memperoleh suara berapa, suara masyarakat hilang atau tidak. Karena dari kenyataanya, mohon maaf ya, dengan sistem proporsional terbuka seperti sekarang ini kan juga banyak suara rakyat yang hilang. Misalnya, partai yang tidak lolos ke Senayan itu kan suaranya hilang karena dia tidak ada wakil di situ, padahal rakyat memilih partai itu," jelasnya.
Menurutnya, sistem proporsional terbuka yang diterapkan Indonesia perlu dikaji ulang karena beberapa faktor.
Baca juga: PDI-P Tetap Dorong Sistem Proporsional Tertutup meski 8 Fraksi DPR Tak Senada
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.