Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perubahan Sistem Pemilu Idealnya Dilakukan di DPR

Kompas.com - 02/01/2023, 11:47 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menilai bahwa pergantian sistem pemilu idealnya dilakukan di ruang parlemen.

Sebagai informasi, saat ini tengah bergulir judicial review atas sistem proporsional terbuka yang diatur UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Saya berpandangan sebaiknya pergantian sistem pemilu secara komprehensif harus dilakukan melalui fungsi legislasi DPR RI, bukan di ranah MK," kata Aditya kepada Kompas.com, Senin (2/1/2023).

Ia mengakui bahwa MK memang bisa mengubah UU Pemilu. Lembaga yudikatif seperti MK memang punya kewenangan dan pengalaman dalam mengubah prosedur, skema, ataupun beberapa substansi kepemiluan karena memutus gugatan atas UU Pemilu.

Baca juga: Pro-Kontra Sistem Proporsional Tertutup untuk Pemilu 2024, Didukung PDI-P, Ditolak Nasdem

Baru-baru ini, misalnya, MK memutus bahwa penataan daerah pemilihan (dapil) DPR RI dan DPRD provinsi dikembalikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari tangan Senayan.

Namun demikian, perubahan seradikal perubahan sistem pemilu dinilai perlu dilakukan secara komprehensif di DPR RI.

"Kalau perubahan hanya di ranah yudikatif maka perubahan itu hanya bersifat parsial. Padahal ide perubahan sistem bersifat keseluruhan, tidak bisa parsial," kata dia.

Belakangan, mengemuka wacana peralihan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup.

Baca juga: Ini Alasan PDI-P, Dukung Pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup

Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik yang kelak berwenang menentukan anggota legislatif yang berhak duduk di parlemen.

Dalam khazanah kepemiluan, sistem ini kerap dianggap kurang demokratis dibandingkan sistem proporsional terbuka seperti yang diterapkan di Indonesia saat ini.

Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik atau nama calon anggota legislatif yang diharapkan duduk di parlemen.


Wacana ini mengemuka setelah Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengungkap bahwa para politikus sebaiknya tidak mendaku diri sebagai "caleg".

Selain karena masa kampanye belum dimulai, judicial review atas sistem pemilu yang tengah bergulir di MK juga menjadi alasan.

Menurut Hasyim, seandainya MK mengabulkan sistem pemilu proporsional tertutup, maka upaya para "caleg" itu sia-sia.

Ide MPR

Namun, jauh sebelum Hasyim, politikus PDI-P sekaligus Ketua Badan Pengkajian MPR RI Djarot Syaiful Hidayat telah membawa wacana ini.

Dalam lawatannya ke kantor KPU RI pada September 2022, eks Gubernur DKI Jakarta itu menyinggung soal mahalnya biaya politik dan kaitannya dengan korupsi para anggota dewan akibat sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini.

"Pemilu di Indonesia itu sangat mahal, biaya dari APBN itu mungkin dari Rp 100 triliun untuk KPU dan Bawaslu. Sekarang coba kita hitung biaya yang dikeluarkan oleh kandidat, itu pasti lebih dari itu," ujar Djarot kepada wartawan di kantor KPU RI, Rabu (21/9/2022).

Baca juga: Ketua KPU: Kalau Ditanya, KPU PIlih Proporsional Tertutup

Djarot menilai, sistem proporsional tertutup juga bakal menciptakan persaingan yang lebih adil kepada para calon anggota legislatif.

"Tidak ada lagi pertarungan antarcalon, mereka-mereka yang sekarang mengurusi partai luar biasa, berkorban luar biasa, kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair," ujar politikus PDI-P.

"Maka kita dorong supaya kajian ini kita kembali ke sistem proposional yang murni, yang tertutup," imbuh dia.

Di sisi lain, ia juga mengungkit bahwa kerja KPU RI akan lebih efisien dengan sistem proporsional tertutup, karena format suara akan jauh lebih sederhana dengan hanya menampilkan lambang partai politik, tanpa harus mencetak daftar nama caleg di setiap dapil.

Baca juga: Puskapol UI: Sistem Parpol Indonesia Belum Layak Pileg Proporsional Tertutup

"Kami juga amat terkejut dengan sistem seperti ini, maka format suaranya KPU akan mencetak ada 2.593 model jenis berbeda-beda. Bayangkan, apa enggak pusing dengan waktu yang sangat singkat, di seluruh dapil," pungkasnya.

Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) sebelumnya sudah mengkritik dalih efisiensi di balik mengemukanya kembali wacana pemilihan legislatif (pileg) dengan sistem proporsional tertutup.

Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah menganggap argumen soal efisiensi ini sebagai "argumen malas" dan "jalan pintas" atas permasalahan yang rumit.

"Argumen utamanya efisiensi anggaran, efisiensi kerja enggak juga. Kalau yang dikejar hanya efisiensi, saya mau bilang gini, pemerintahan yang paling efisien adalah yang paling otoriter karena jalurnya tidak panjang," kata Hurriyah kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).

Baca juga: KPU Pastikan Dapil Bermasalah Akan Ditata Ulang, Kaji Pembagian Proporsional Jawa-Luar Jawa

"Tapi demokrasi kan tidak bicara melulu soal efisiensi. Esensi demokrasi adalah rakyat punya daulat, di mana masyarakat punya kuasa memilih representasinya secara langsung," ujar dia.

Hurriyah menambahkan, demokrasi tidak bicara soal efisien atau tidak efisien.

Dibandingkan sistem pemerintahan lain, demokrasi justru mungkin menjadi sistem yang paling tidak efisien.

"Demokrasi memang mahal, tetapi demokrasi terbukti menjadi sistem yang terbaik di antara pilihan yang buruk," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com